HAMZAH FANSURI, SANG PEMULA

Hamzah Fansuri adalah nama yang sangat dikenal di kalangan para mahasiswa sastra, sastrawan, atau pegiat sastra di Indonesia. Tahun kelahirannya tidak secara pasti diketahui. Akan tetapi Hamzah Fansuri diyakini lahir pada abad ke-16 di Barus (sekarang masuk ke dalam Provinsi Sumatera Utara).

Selain sebagai sastrawan, Hamzah Fansuri juga adalah seorang ulama sufi. A Teeuw menyebut Hamzah Fansuri sebagai “Sang Pemula Puisi Indonesia” yang tercantum dalam bukunya yang berjudul Hamzah Fansuri, Sang Pemula Puisi Indonesia. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan yang diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1994.

Sumber Gambar: https://hidayatullah.com/artikel/mimbar/2022/05/11/229927/keabadian-karya-hamzah-fansuri.html

Berikut adalah salah satu syair karya Hamzah Fansuri yang berjudul “Syair Burung Unggas”.

 

Unggas itu yang amat burhana

Daimnya nantiasa di dalam astana

Tempatnya bermain di Bukit Tursina

Majnun dan Laila adalah disana

 

Unggas itu bukannya nuri

Berbunyi ia syahdu kala hari

Bermain tamasya pada segala negeri

Demikianlah murad insan sirri

 

Unggas itu bukannya balam

Nantiasa berbunyi siang dan malam

Tempatnya bermain pada segala alam

Disanalah tamasya melihat ragam

 

Unggas tahu berkata-kata

Sarangnya di padang rata

Tempat bermain pada segala anggota

Ada yang bersalahan ada yang sekata

 

Unggas itu terlalu indah

Olehnya banyak ragam dan ulah

Tempatnya bermain di dalam Ka’bah

Pada Bukit Arafat kesudahan musyahadah

 

Unggas itu bukannya meuraka

Nantiasa bermain di dalam surga

Kenyataan mukjizat tidur dan jaga

Itulah wujud meliputi rangka

 

Unggas itu terlalu pingai

Nantiasa main dalam mahligai

Rupanya elok sempurna bisai

Menyamarkan diri pada sekalian sagai

 

Unggas itu bukannya gagak

Bunyinya terlalu sangat galak

Tempatnya tamasya pada sekalian awak

Itulah wujud menyatakan kehendak

 

Unggas itu bukannya bayan

Nantiasa berbunyi pada sekalian aiyan

Tempatnya tamasya pada sekalian kawan

Itulah wujud menyatakan kelakuan

 

Unggas itu bukannya burung

Nantiasa berbunyi di dalam tanglung

Tempat tamasya pada sekalian lurung

Itulah wujud menyatakan Tulung

 

Unggas itu bukannya Baghdadi

Nantiasa berbunyi di dalam jawadi

Tempatnya tamasya pada sekalian fuadi

Itulah wujud menyatakan ahli

 

Unggas itu yang wiruh angkasamu

Nantiasa asyik tiada kala jemu

Menjadi dagang lagi ia jamu

Ialah wujud menyatakan ilmu

 

Thairul aryani unggas sulthani

Bangsanya nurur-Rahmani

Tasbihatal’lah subhani

Gila dan mabuk akan Rabbani

 

Unggas itu terlalu pingai

Warnanya terlalu terlalu bisai

Rumahnya tiada berbidai

Dudujnya daim di balik tirai

 

Putihnya terlalu suci

Daulahnya itu bernama ruhi

Milatnya terlalu sufi

Mushafnya bersurat kufi

 

Arasy Allah akan pangkalnya

Janibul’lah akan tolannya

Baitul’lah akan sangkarnya

Menghadap Tuhan dengan sopannya

 

Sufinya bukannya kain

Fi Mekkah daim bermain

Ilmunya lahir dan batin

Menyembah Allah terlalu rajin

 

Kitab Allah dipersandangkannya

Ghaibul’lah akan pandangnya

Alam Lahut akan kandangnya

Pada ghairah Huwa tempat pandangnya

 

Zikrul’lah kiri kanannya

Fikrul’lah rupa bunyinya

Syurbah tauhid akan minumnya

Dalam bertemu dengan Tuhannya

 

Khas puisi melayu lama, bait dan barisnya tertata begitu rapi dan seragam. Setiap bait terdiri dari empat baris, dengan rima yang sama: a-a-a-a.

(DH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *