Cerpen “Kalynda dan Satria: Kisah Heroik di Balik Tautan Asmara Penduduk Langit dan Bumi”

PISAU SASTRA (PisTra), Kolom RUANG KARYA/CERPEN, Sabtu (15/03/2025) – Cerita pendek (cerpen) berjudul “Kalynda dan Satria: Kisah Heroik di Balik Tautan Asmara Penduduk Langit dan Bumi” ini merupakan karya original dari Diantika IE, seorang penulis dan pengarang asal Ciamis, Jawa Barat. Ia juga aktif sebagai Ketua Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Indonesia.

Sore itu hujan turun tidak terlalu lebat, tetapi mampu membuat genangan di pelataran rumah penduduk Desa Pringkadani.

Satria duduk termenung di teras rumah berbahan kayu Jati, rumah peninggalan orang tuanya. Dulu semasa hidup, tangan ayahnya sendiri yang membangun rumah tersebut.

Pemuda itu bertumpu pada kedua lututnya yang terbalut sarung. Kain lusuh yang belum dilepaskannya setelah ibadah sore tadi. Matanya menatap kosong ke arah pohon bunga Kenanga yang sedang berbunga lebat. Kelopak dan daunnya bergoyang perlahan tertimpa tetesan air yang jatuh dari pohon besar di atasnya.

Diantika IE
Diantika IE, penulis dan pengarang – (Sumber: Koleksi pribadi)

Bunga Kenanga itu menghadirkan bau wangi yang sedap. Namun, tidak untuk Satria. Bahkan, ia membenci Kenanga. Hingga saat ini rasa pedih di dadanya belum sembuh karena sayatan luka yang ditorehkan gadis manis yang memiliki nama sama dengan bunga itu.

Kenanga, gadis yang dicintainya sejak empat tahun lalu. Ia memilih menikah dengan Handika, anak seorang saudagar kaya di desa sebelah. Memang, siapa yang tidak tergiur dengan segala fasilitas yang akan didapatkan jika berhasil menjadi menantu Pak Karto. Ayahnya Handika pemilik hektaran tanah, peternakan terbesar di desa dengan suplai daging dan telur yang sudah menguasai pasar kabupaten di sana.

Satria, tidak sedikit pun berani melawan Handika ketika ia dicaci maki dan dihina oleh anak sudagar kaya tersebut. Bahkan, tak ada secuil pun pembelaan dari kekasihnya, Kenanga. Namun, bukan berarti ia tidak punya nyali untuk menghadiahi bogeman keras di wajah Handika, pemuda yang besar kepala itu. Akan tetapi, ia masih menghargai dirinya. Tidak pantas jika ia harus baku hantam hanya karena seorang wanita yang telah berkhianat kepadanya.

“Maafkan aku. Aku hanya mau menikah dengan orang yang siap membuat aku bahagia,” ucap Kenanga sambil lalu, seolah melupakan semua usaha Satria yang selama empat tahun ini selalu berusaha membuatnya selalu tersenyum, padahal Satria menyiapkan mahar yang dikumpulkannya dari hasil jerih payahnya sendiri.

Sebenarnya kondisi ekonomi Satria tidaklah terlalu buruk. Rumah peninggalan Ayahnya sudah sepenuhnya menjadi hak dirinya. Rumah itu cukup besar untuk mereka tinggali bertiga bersama ibunya jika jadi menikah dengan Kenanga.

“Kalau Kenanga tidak mau tinggal sama Ambu, biar Ambu yang pindah ke rumah Mbah, Satria,” ucap Ambu ketika Satria mengatakan bahwa Kenanga belum siap menikah dengan berbagai alasan.

Ada perasaan sedih yang luar biasa, ketika ia mendengar pernyataan itu. Bagaimana bisa, orang tua satu-satunya yang ia miliki harus tinggal terpisah darinya. Walaupun Ambu selalu berkata bahwa ia bisa menjaga diri karena jimat peninggalan dari ayahnya bisa menjaga keselamatan.

Satria dan Kalynda
Ilustrasi: Kisah percintaan Satria dan Kalynda yang penuh pesona – (Sumber: Arie/PisTra)

“Ambu tidak akan takut, Ambu bisa hidup tanpa penjagaanmu, Putraku. Jangan khawatir,” kata Ibunya Satria lagi.

Satria hanya menggeleng pelan dan memeluk ibunya dengan erat.

“Ambu tidak perlu meninggalkan rumah ini. Wanita yang akan kubawa sebagai menantu sudah tidak mencintaiku lagi. Ia memilih lelaki lain yang dianggapnya lebih mampu memahagiakan,” ucap Satria dengan suara parau.

“Kau lelaki. Kalau memang dia tidak ingin bersamamu, jangan pernah menangisinya. Cintanya palsu dan hanya tergiur dengan dunia. Kau tenang saja, Putraku. Dia hanya belum tahu siapa dirimu sebenarnya,” hibur Ambu sambil mengelus rambut putranya penuh kasih sayang.

Satria tersenyum lega, meski perih dalam hatinya masih terasa.

Kini empat bulan sudah Kenanga dipersunting oleh Handika. Lama sekali Satria tidak mendengar kabarnya. Lagi pula, siapa juga yang ingin mendengar kabar menyakitkan itu? Namun, meskipun sakitnya masih terasa, dalam lubuk hati Satria masih tersimpan nama Kenanga. Ya, memang begitulah pria jika sudah terlanjur jatur cinta.

Sesakit apapun luka yang kau beri, aku masih menyimpan namamu, Kenanga. Aku tak tahu, apakah aku bisa jatuh cinta lagi pada wanita selain dirimu? Ataukah aku akan membujang hingga mati, kata Satria dalam hati dengan perasaan  gundah gulana.

***

Hari berlalu. Berkat dukungan Ambu, satria mulai kembali bersemangat. Entah memang lukanya sudah mulai sembuh atau malah mati rasa dan menjalani hari-hari mengikuti arus kemana hidup membawanya pergi.

Pagi itu Satria pamit hendak berburu jauh ke hutan yang dalam. Mambawa panah dan belati tajam yang sudah sangat lama disimpannya. Ibunya tersenyum lega.

“Ambu senang kalau kamu sudah mulai semangat berburu lagi. Kemampuan memanahmu pasti sudah bisa mengimbangi kemampuan ayahmu, Nak,” ucap Ambu dengan mata berkaca-kaca.

Ada segunduk rindu dan pilu di raut wajahnya. Kerinduan yang tidak akan pernah bisa terobati. Arya Bayaka telah gugur di medan pertempuran ketika melawan gerombolan pengacau desa. Mereka adalah para musuh yang tidak senang dengan pemerintahan Bupati Paderi yang menjabat sudah tiga periode lamanya.

Satria tersenyum dan meminta agar Ambu tidak bersedih lagi, “kalau Ambu rindu pada ayah, lihat saja aku. Sebentar lagi aku juga akan sehebat ayah. Bahkan, aku harus melebihinya.”

Lelaki berusia 25 tahun itu penuh pesona. Tubuhnya yang kekar memang sangat mirip dengan ayahnya ketika masih muda. Namun, sayang sekali, Satria harus menjadi yatim sejak usianya delapan tahun. Menjadi pembela bupati yang memiliki keterampilan bela diri yang mumpuni, Arya Bayaka selalu menjadi target para pemberontak. Sampai pada suatu malam, Arya tewas karena dihunus belati saat sedang tertidur di kamarnya sendirian. Hari itu adalah hari yang sangat memilukan bagi Satria dan Ambunya, Sekar Wangi.

“Satria pamit ya, Ambu,” ucap Satria.

“Hati-hati, Nak. Baik-baik jaga diri!” Pesan Ambu.

Belasan tahun berlalu, pemberontak sudah tidak banyak beraksi lagi di desa. Hanya saja berubah wujud menjadi para tengkulak yang tidak punya hati atau saudagar kaya yang tidak memiliki perasaan membayar upah kecil para pekerja, seperti yang dilakukan oleh bapaknya Handika.

Satria berjalan dengan mantap meninggalkan rumah diiringi dengan suara ambu yang tidak berhenti bicara sendiri, seolah suaminya masih ada.

“Lihatlah anak kita, sudah sehebat kamu, Arya. Lihatlah,” serunya bicara sendiri dengan senyuman yang penuh kegetiran.

***

Satria kelelahan setelah memburu seekor kelinci di tengah hutan yang lebat. Hewan buruan kecil itu memang tidak sebesar rusa, tetapi memang tujuannya mencari binatang kecil saja untuk dimasak berdua dengan Ambu.

Latihan memanah hewan kecil dari jarak yang cukup jauh membuat Satria merasa lelah sendiri. Lalu pikirannya mendadak membayangkan kehadiran seorang istri. Ia sangat senang jika bisa membawakan daging kelici untuk dimasak oleh istrinya dengan penuh suka cita.

Ah, tapi Kenanga mana suka daging buruan. Ia kini sudah hidup berkelimpahan dengan makanan yang serba mewah yang disediakan dengan uang banyak dari Handika, gumam Satria merasa kesal pada diri sendiri.

Satria mulai kelelahan karena sudah berjalan terlalu jauh ke dalam ke hutan. Ia memilih untuk berhenti sejenak di bawah pohon rindang di tepi sungai. Airnya yang jernih mengalir tenang menandakan kalau sungai itu cukup dalam. Ia berpikir suatu hari nanti akan mencoba berburu ikan dengan panahnya sekalian berlatih di sana.

Lelaki tampan itu menyandarkan tubuhnya ke sebuah pohon Dadap yang berdaun lebat. Angin semilir menyapu dedaunan, kicau burung bersahut-sahutan membuat telinga Satria menjadi begitu nyaman. Diletakkannya kelinci buruan yang terbungkus karung goni di sebelah tubuhnya. Tidak terasa ia pun tertidur dengan pulasnya.

***

“Tampan sekali pemuda ini,” sayup-sayup terdengar suara seorang wanita lembut sekali. Terasa sesuatu yang dingin dan lembut mengelus pipi Satria. Antara sadar dan tidak, Satria tetap memejamkan matanya berharap bahwa ini hanya mimpi indahnya siang bolong di tengah hutan.

Namun, usapan jari jemari itu semakin lama semakin terasa. Satria pun bisa mendengar helaan napas lembut seseorang di dekat tubuhnya. Perlahan Satria membuka mata, dan terlihatlah sosok wanita cantik sedang duduk di hadapannya. Ia mengenakan pakaian serba putih berbahan kain sutra yang lembut. Rambutnya yang berwarna pirang tergerai indah. Di kepalanya terpasang sebuah mahkota berwarna emas dengan hiasan mutiara yang disusun menyerupai bunga.

“Siapakah kamu?” Tanya Satria gugup sembari menjauhkan tubuhnya dari sosok itu.

Gadis itu pun sama terkejutnya. Pipinya memerah membuat rona wajahnya semakin cantik jelita. Tidak bisa dipungkiri, degup jantung Satria berpacu berpuluh kali lipat dari sebelumnya. Bukan hanya cantik jelita, wanita itu juga bertubuh wangi yang membuat Satria terlena.

“Ma … maaf, aku mengganggu tidurmu,” ucap gadis cantik itu dengan terbata.

Mata gadis itu sayu dan tatapan yang sendu membuat Satria merasa iba.

“Sepertinya kamu bukan warga Desa Pringkadani. Dari mana sebenarnya kamu berasal?” Tanya Satria lagi.

“Namaku Putri Kalynda Nirwana. Aku juga bukan berasal dari bumi. Aku datang dari negeri Kahyangan,” jawab gadis itu sambil membetulkan posisi mahkotanya, Seolah ingin memberi tahu bahwa ia benar-benar seorang putri.

Satria menelan salivanya. Ia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Namun, jika melihat penampilannya, gadis itu memang sangat berbeda dengan kaumnya. Warna rambut, pakaian dan kecantikannya memang seperti datang dari negeri Kahyangan yang sering digambarkan Ambu dalam dongeng-dongeng sebelum tidurnya masa kecil dulu.

“Apa kau bidadari?” Tanya Satria.

Tatapan matanya tidak bisa lepas dari wajah cantik itu membuat sang putri semakin tersipu malu.

Dengan obrolan ringan yang semakin akrab, akhirnya Satria tahu kalau Kalynda adalah putri seorang raja langit yang melarikan diri sampai ke bumi karena dijodohkan oleh ayahnya untuk menikah dengan seorang putra mahkota Kerajaan Naga yang berperangai buruk.

“Aku tidak mencintainya. Perangainya buruk. Itu yang membuat aku terpaksa melarikan diri sampai ke sini untuk menhilangkan jejak dari ayah dan bala tentara yang sedang memburuku,” ucap Kalynda pilu.

Satria tertegun berusaha mencerna semua yang dikatakan gadis itu. Meskipun cerita Kalynda begitu meyakinkan, tetapi nalarnya belum sepenuhnya bisa menerima. Sampai akhirnya Kalynda memperlihatkan sebuah keajaiban yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia biasa.

Kalynda mampu terbang dan menari di udara. Dengan gerakan yang lemah gemulai, Kalynda mempertontonkan kebolehannya. Membuat mata Satria tidak berkedip sedikit pun.

“Sekarang kamu percaya kan?” Tanya Kalynda setelah kembali menurunkan kakinya yang berwarna putih pucat ke tanah dan berdiri di hadapan Satria.

Satria mengangguk, yakin.

***

Ambu hanya tersenyum ketika Satria panjang lebar menjelaskan bahwa Kalynda adalah manusia dengan jenis yang berbeda. Bagi dirinya kisah itu bukan sekadar kisah dongeng khayalan belaka. Sosok manusia Kahyangan memang benar adanya. Bahkan, salah satunya pernah membuatnya berterima kasih berkali-kali karena menolong nyawa Arya Bayaka, suaminya saat kalah dalam pertempuran dengan gerombolan jahat. Namun sayang, sosok itu terlambat datang ketika suaminya tewas malam itu.

“Jadi Ambu percaya?” Tanya Satria antusias.

Ambu mengangguk.

“Tinggallah di sini untuk beberapa hari. Sampai kamu mempunyai alasan untuk kembali kepada keluargamu nanti,” ucap Ambu kepada Kalynda.

Hari berganti, Kalynda dan Satria semakin sering melakukan kegiatan bersama. Mereka berburu, memancing ikan di sungai, bertani, dan membantu Ambu di ladang dan banyak lagi kegiatan lainnya. Hal tersebut membuat putri Kayangan itu mulai terbiasa menjadi sosok manusia bumi yang sama dengan Satria. Sampai suatu hari, Kalynda menyatakan perasaannya kepada Satria bahwa ia tidak ingin kembali lagi ke negeri langit.

Kenyataan itu membuat Ambu senang sekaligus berat hati. Senang karena akhirnya Satria bisa memiliki tambatan hati lagi. Ambu bisa melihat dari binar mata Satria ketika memandang Kalynda dengan tatapan tulus penuh cinta. Ambu bisa melihat hati Satria yang sempat mati kini sudah hidup kembali. Bahkan, bersemi indah sekali.

Kondisi ini membuat gamang. Satu sisi, jika sampai hal itu diketahui negeri Kahyangan maka bersiaplah semua akan hancur berantakan. Kahyangan tidak akan pernah memberi restu jika kaumnya menikah dengan mahluk bumi.

Sejak saat itu, hari-hari Ambu dihantui rasa takut dan khawatir yang tidak berujung. Sementara Satria dan Kalynda malah mantap untuk meresmikan jalinan kasihnya menjadi sepasang suami istri. Mereka bertekad akan pergi ke langit untuk meminta restu sang raja agar pernikahan nya jauh dari bencana.

Sebagai seorang ibu yang tidak mungkin mematahkan cinta sang putra dengan kekasihnya, lantas Ambu alias Dewi Sekar Wangi bertekad untuk kembali kepada wujud aslinya sebagai wanita sakti mandraguna dan melatih sang putra bertarung utuk penjagaan diri dan keselamatannya di perjalanan menuju kerajaan langit.

Kalynda merasa bahagia dan ia pun tidak berhenti melatih kebolehan yang dimilikinya sebagai persiapan kembali ke negeri asalnya.

***

Berkat ketekunan Dewi Sekar Wangi, Satria dan Kalynda kini menjelma menjadi sepasang kekasih yang memiliki kesaktian luar biasa. Kemampuan bertarung mereka sudah jauh dari layak untuk pergi ke tempat yang jauh. Meskipun semua orang tidak akan pernah bisa menduga bahaya apa yang akan menimpa mereka di atas sana.

Ambu menitipkan jimat pemberian sang ayah, Arya Bayaka untuk dijadikan senjata sakti ketika ada dalam situasi mendesak.

“Ingat anakku, jimat ini hanya akan berfungsi ketika kamu mampu menggunakannya dengan hati yang tulus dan suci. Jika sedikit saja ada benci dan dendam dalam dirimu atau apa pun hal buruk yang menghinggapi hatimu maka sama sekali jimat ini tidak akan berarti apa-apa,” ucap Ambu sebelum keduanya pergi meninggalkan desa di pagi buta.

“Terima kasih Ambu yang sudah bersusah payah mengajarkanku,” ucap Satria.

Dengan berat hati Satria melangkahkan kaki mengikuti Kalynda setelah sebelumnya memeluk erat tubuh Ambu yang sudah kembali kepada sosok aslinya, wujud seorang perempuan tua biasa yang sangat dicintainya.

Selepas kepergian Satria dan Kalynda, ada doa-doa yang tidak berhenti dipanjatkan kepada Sang Maha Kuasa dari mulut Dewi Sekara Wangi. Ia berharap putranya selamat menghadapi tantangan sepanjang perjalanan menuju kerajaan langit.

Ya, tantangan itu tentu tidak akan mudah. Sekar Wangi sangat memahaminya. Pengalaman beberapa tahun ke belakang telah memberinya banyak sekali pelajaran. Namun, kali ini ia harus mempercayakan semuanya dan yakin kalau putranya akan mempu melewati semuanya karena pemuda itu memiliki hati yang tulus luar biasa.

***

Rintangan demi rintangan bisa dilewati dua sejoli yang sedang memperjuangkan restu untuk cinta mereka. Tentara kerajaan langit pun tidak semua patuh kepada perintah raja untuk melenyapkan siapa saja yang berani memasuki wilayah mereka. Beberapa tentara bersikap lembut dan tunduk ketika mengetahui bahwa yang datang bersama “manusia bumi penyusup” itu adalah putri mahkotanya sendiri.

“Mohon izin, Tuan Putri. Apakah manusia bumi yang datang bersama Anda tidak akan membuat Baginda Raja murka?” Tanya salah seorang tentara mengingatkan dengan penuh tatakrama.

“Aku yang menjamin. Kalau dia tidak akan membahayakan kerajaan kita,” jawab putri Kalynda dengan kesungguhan.

Pintu demi pintu langit terbuka setiap lapisannya. Sampailah pada lapisan terakhir menuju kerajaan. Seorang pria bertubuh kekar dengan secepat kilat menyambar tubuh putri dan mencengkramnya dengan erat. Tangannya yang besar berotot memegang kasar rahang sang putri hingga wanita cantik itu meringis kesakitan.

“Lepaskan aku, Pangeran!” Pekik putri Kalynda.

Satria memasang kuda-kuda siap menyerang dan menolong Kalynda. Rupanya sosok tersebut adalah putra mahkota Kerajaan Naga yang akan dijodohkan dengan kekasihnya.

“Tahan gerakanmu, Satria. Jangan buang energimu! Kau tidak akan mampu melawan dia,” sergah Kalynda ketika menyadari bahwa kekasihnya sedang bersiap menyerang Rahwa, pria keji yang kini sedang mencengkramnya.

Satria menahan langkah, tetapi masih dalam posisi kuda-kuda. Ia kembali teringat bahwa jika terlalu banyak menggunakan kekuatan maka ia tidak akan bisa bertahan lama untuk berada di negeri yang berbeda dengan negeri asalnya. Ia tidak boleh gegabah. Kemampuan untuk bisa datang ke negeri langit pun berkat Kalynda yang rela membagi energinya sebelum mereka naik dari bumi tempo hari.

“Jadi ini pria yang telah membuatmu lari dan menghilang dari langit, hah?” Tanya Rahwa dengan suara yang menggelegar.

Suara Rahwa memekikkan telinga. Orang biasa tidak akan mampu mendengarkan suaranya yang seperti guntur di tengah badai.

“Aku tidak akan membiarkan kerajaan dan rakyatmu hidup dengan tenang karena kau dan ayahmu sama saja. Kalian sama-sama pembohong!” Ucap Rahwa lagi dengan murka.

Sekonyong-konyong Rahwa melempar tubuh putri Kalynda hingga berdebam di hamparan awan yang keras . Sejenak kemudian, Rahwa bergegas terbang meninggalkan Kalynda yang meringis menahan sakit. Satria langsung menghampiri kekasihnya itu dengan penuh iba.

“Kita harus bergegas menemui ayahanda. Rahwa pasti marah besar. Aku khawatir peperangan akan terjadi. Sebelumnya aku tidak mengira kalau Rahwa ada di langit kerajaanku dan menemukan kita sebelum kita sampai di istana,” ujar Kalynda dengan terengah-engah menahan efek rasa sakit yang ditimbulkan dari bantingan Rahwa.

“Sekarang apa yang harus aku lakukan? Karena rasa cintaku, negaramu mungkin hancur berantakan,” keluh Satria pilu.

Suara Satria yang pilu itu menimbulkan getaran perlahan di antara awan-awan sehingga membuat mahluk-mahluk yang ada di sana berterbangan menghindari tempatnya berdiam.

Menyadari bahwa getaran itu berasal dari kepiluan hati Satria, Kalynda segera mengingatkan kekasihnya itu, “Tahan sedihmu. Tidak ada yang harus ditakutkan, Sayang. Selama aku masih bersamamu dan selama ada cinta di hati kita yang saling berpaut satu sama lain maka semua akan baik-baik saja bukan?”

Getaran pelan semacam gempa bumi pun kembali reda. Dengan sisa kekuatan, Kalynda dan Satria melanjutkan perjalanannya ke kerajaan.

***

Kedatangan putri raja disambut dengan tangis haru sang ibunda, wanita cantik yang hampir sama mudanya dengan sang anak. Mungkin di Kahyangan tidak akan ada orang yang terlalu tua. Semuanya bertubuh indah persis seperti manusia-manusia negeri dongeng yang sering dibahas Ambu atau yang diidamkan oleh Kenanga untuk bertemu sosok itu ketika mereka bercerita bersama dulu.

Namun, ini bukan dongeng Ambu. Bukan pula khayalan Kenanga, wanita yang tidak setia itu. Kini semuanya ada di depan mata Satria. Berkali-kali ia mencubit dan menampar pipinya sendiri. Sudah sejauh itu perjalanannya, masih saja ia belum percaya bahwa itu nyata. Kerajaan yang megah berdiri di atas hamparan awan dengan ornamen-ornamen yang indah.

Raja dan ratu dengan pakaian yang indah, serta pelayan-pelayan yang langsing, tinggi dan cantik nyaris sama bentuknya. Para pengawal tidak ada satupun yang terlihat bertubuh gemuk dan tua. Semuanya tampak muda, tak jauh dari usianya sekitar 25 tahun.

Berada di antara pengawal, Satria merasa minder sendiri. Kulitnya yang berwarna sawo matang kalah jauh dengan para pengawal yang memiliki kulit terang dengan bola mata biru yang indah. Ya, semuanya serba rupawan.

Sesampainya di Kahyangan, Kalynda pun beratus kali berubah menjadi jauh lebih cantik karena telah berganti pakaian dengan secepat kilat seperti sihir. Satria dibuat melongo menyaksikan semuanya. Hal itu memancing tawa sang ratu yang diam-diam mengamatinya dari kejauhan.

“Pemuda itu terlihat sangat polos,” ujar ratu pada suaminya yang sejak tadi termenung seperti memikirkan sesuatu yang serius.

Ratu dan raja adalah pasangan orang tua yang tidak pernah membiarkan putri Kalynda anak semata wayangnya menderita. Ia akan melakukan segala hal yang terbaik demi kebahagiaan putrinya. Namun karena merasa kerajaan dan rakyatnya terancam, ia terpaksa menyepakati perjodohan Kalynda dengan Rahwa, putra mahkota kerajaan pesaingnya.

Tindakan itu adalah tindakan terkejam yang dilakukannya kepada sang putri. Sampai Kalynda melarikan diri karena sakit hati dengan perlakuan sang ayah dan tidak mau dijodohkan dengan pria kejam seperti Rahwa.

Kini lelaki itu bergeming, semakin tidak mampu mengatakan apa-apa. Setelah tahu bahwa putri satu-satunya malah pulang dengan pria dari alam yang berbeda. Berbagai bayangan kekacauan menyelimuti kepalanya. Ia pun berdiri dalam gamang. Jika ia sampai memenuhi keinginan sang putri untuk menikahi bangsa manusia bumi maka seluruh rakyatnya akan menjadi korban pemerasan dan kekejian Rahwa yang selalu menghalalkan segala cara demi kekuasaan.

“Hamba mengaku salah, Ayahanda yang mulia. Hamba ke sini hanya ingin mohon restu dari ayahanda dan ibunda. Biarlah hamba dikutuk menjadi manusia bumi yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Diusir dari istana tidak mengapa karena hidup bersama pria seperti Satria jauh lebih membuat hamba merasa tenang daripada bersama pria keji seperti Rahwa,” rintih putri Kalynda kepada kedua orangtuanya.

Air mata sang raja menetes penuh kedukaan. Ia benar-benar berada dalam pilihan yang sangat sulit antara memilih rakyat dan putrinya sendiri.

Satria lalu berlutut dan menyatakan kesiapannya untuk menanggung hukuman dari raja asalkan diberikan izin untuk menikahi putrinya.

“Hamba siap dihukum menjadi apapun asalkan hamba bisa selalu dekat dan melihat putri Anda tersenyum, Tuan. Hamba sadar hanya sebagai manusia biasa. Hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya, Tuan. Hamba telah lancang memadu kasih dengan putri,” ucap Satria dengan penuh harap.

“Siapa orang tuamu, Nak?” Tanya raja lembut.

Raja dan ratu terkesiap ketika ia mendengar nama Arya Banaka dan Dewi Sekar Wangi disebut. Bagi bangsa langit, nama makhluk bumi pemilik kekuatan dahsyat yang timbul dari ketulusan hati itu sudah tidak asing lagi. Raja dan ratu saling tatap. Akhirnya mereka berdua merestui jalinan cinta Satria dan Kalynda.

Satria dan Kalynda bersimpuh penuh syukur dan berterima kasih kepada raja dan ratu. Bayangan masa-masa indah dan binar wajah Ambu di bumi pun terbayang sudah ketika mereka benar-benar bisa bersatu dan hidup bahagia di bumi.

***

Pesta pernikahan digelar secara sederhana. Penduduk negeri langit di bawah kekuasaan raja hanya diambil perwakilan. Sebagian lagi dikirimi makanan sebagai bentuk syukur dan pengganti pesta secara sembunyi-sembunyi. Tidak lupa raja menyisipkan pesan agar semua rakyatnya mendoakan kebahagiaan sang putri dengan suaminya. Raja berjanji akan menggelar pesta besar-besaran yang mengundang rakyat secara terbuka dalam waktu yang belum bisa ditentukan.

Namun, di tengah gelaran pesta sederhana itu, tiba-tiba guntur menyambar menyebabkan kaca-kaca dan benda yang terbuat dari kristal pecah. Istana terbakar di beberapa bagian. Suasana pesta menjadi carut marut. Serangan dari Kerajaan Naga di bawah pimpinan Rahwa datang tanpa diduga.

Raja memohon agar Satria menyelamatkan ratu dan putri Kalynda. Lelaki paruh baya itu menghadapi musuh sendirian dan Satria membawa lari putri dan ratu ke tempat aman atas petunjuk raja.

Pertempuran tidak bisa dihindarkan. Sang raja berkelahi dengan mengerahkan segala kekuatannya. Namun, tentara yang diutus Rahwa adalah tentara pilihan. Mereka begitu kuat bukan tandingan. Bala tentara kerajaan Kalynda berguguran. Tinggalah ia dan dua orang wanita yang harus benar-benar diselamatkannya.

Di tengah perjalanan pelarian, ratu meminta berbalik arah. Ia ingin menemui suaminya karena khawatir sang raja gugur dalam pertempuran. Kalynda juga demikian, ia khawatir akan kehilangan sang ayah yang sangat dicintainya.

Satria bergeming penuh sesal karena ego dan cintanya, kerajaan Kalynda menjadi kacau balau. Namun, ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur.

“Aku akan kembali kepada kalian dengan membawa raja hidup-hidup dalam keadaan selamat. Berjanjilah untuk tetap bersembunyi di tempat yang aman jangan sampai Rahwa atau bala tentaranya menemukan kalian,” pesan Satria.

Kemudian Satria pergi secepat kilat menuju medan peperangan. Ketika ia sampai di medan pertempuran yang dahsyat, ia mengedarkan pandangannya mencari sosok Rahwa, pria biang kerok yang menjadi sebab pertempuran ini terjadi.

Setelah netranya menemukan sosok itu, ia langsung menghampirinya dengan gagah berani. Rahwa yang sedang murka menendang dan menghajar Satria habis-habisan. Namun, Satria tetap tenang menggunakan jurus-jurusnya. Meskipun luka memar di sekujur tubuhnya, ia masih berusaha bangkit untuk melawan Rahwa.

Satria dan Kalynda
Ilustrasi: Pertempuran antara Satria dan Rahwa di Kahyangan – (Sumber: Arie/PisTra)

Namun apa mau dikata, Rahwa adalah sosok pria yang bertubuh lebih besar. Belum lagi, kemampuan bertarung yang dimilikinya tidak sebanding dengan kekuatan Satria. Kekasih Kalynda itu pun tersungkur di antara reruntuhan bebatuan istana dengan tersisa setengah kesadarannya.

Tidak lama kemudian, telinganya menangkap sebuah suara. Rintihan tangis dari dua orang wanita. Kalynda memanggil namanya berulang kali sambil meminta pertolongan. Satu lagi tangisan ratu yang mengeluhkan kehancuran negara dan rakyat-rakyatnya yang ikut gugur.

Satria perlahan membuka mata. Di depan mata kepalanya sendiri, kehancuran begitu nyata. Pertempuran sudah usai dan Rahwa berdiri di ujung arena dengan bangganya. Di sampingnya Kalynda berdiri sebagai tawanan. Tangannya diikat rantai. Gadis itu tertunduk lesu penuh kesedihan.

Kalynda tidak berhenti memanggil nama Satria meminta pertolongan. Satria yang lemah, bertambah semakin lemah dibuatnya. Setiap lengkingan suara Kalynda memanggil, setiap kali itu pula perih di jiwa Satria semakin terasa.

Rahwa berbicara dengan lantang, “Mulai hari iini Kerajaan Kalynda adalah milikkua. Semua rakyat termasuk raja dan ratu harus tunduk kepadaku. Sebentar lagi aku akan menikahi Putri Kalynda. Karena raja dan ratu curang maka seluruh kerajaan kini menjadi di bawah kekuasaanku.

Ada perih yang teramat perih. Jauh beratus kali lipat saat ia ditinggal pergi Kenanga yang lebih memilih Handika di bumi. Kini, Rahwa mengambil istri yang sangat dicintainya dalam keadaan yang masih suci.

Rahwa memeluk tubuh Kalynda di depan semua orang. Bahkan, Rahwa telah memerintahkan para punggawa untuk menyiapkan pesta pernikahan. Suaranya menggelegar memenuhi langit.

Satria berusaha bangkit, tetapi tubuhnya yang remuk terasa begitu sulit untuk berdiri. Ia hanya bisa bergerak perlahan mendekati raja dan ratu yang sama luluh lantaknya. Sementara Kalynda dibawa pergi oleh Rahwa tanpa bisa dihentikannya.

***

“Aku titipkan putriku padamu. Kuatlah wahai anak muda,” ucap raja dengan suara terbata.

Raja itu tampak begitu iba mendapati Satria yang lemah tiada berdaya.

“Terlalu banyak yang sudah kami korbankan. Seluruh rakyat dan semua kerajaan. Jangan sampai kau pun harus kehilangan satu-satunya yang sangat berharga. Kuatlah!” Ujar ratu.

Entah mengapa suara ratu itu terdengar seperti suara Ambu sehingga membuat Satria menangis tersedu-sedu. Lalu ia bersimpuh di hadapan Raja dan ratu. Bahunya berguncang keras. Satria berteriak dalam tangisannya, melepaskan segala beban yang bersarang menyiksa dadanya. Di saat yang bersamaan, istana bergetar kencang dibuatnya.

“Wahai raja dan ratu, akulah penyebab semua ini. Akulah penyebab kehancuran ini. Akulah yang pantas kau hukum seberat-beratnya andai nanti aku tidak bisa menyelamatkan sang putri. Hukumlah aku, hukumlah aku!” Pinta Satria dengan tangisan yang semakin pecah.

Perasaan Satria bercampur aduk antara rasa sesal karena telah menjadi penyebab kehancuran seluruh kerajaan dan sakit pedih karena Rahwa telah mengambil istrinya. Suaranya tangisannya yang pilu semakin memekik.

Sisa-sisa reruntuhan kerajaan terbenam ke dasar langit dan langit pun mendung seketika. Guntur menggelegar lebih dahsyat dari serangan guntur ketika Rahwa dan tentaranya datang. Seluruh penduduk kerajaan yang masih hidup dan tersadar merinding ketakutan.

Satria telah mengeluarkan jimat pemberian ibunya. Hatinya yang pilu dan rasa cintanya yang begitu tulus kepada putri Kalynda telah membuat kekuatan terbesarnya muncul.

Secepat kilat Satria terbang melesat menuju keberadaan Rahwa. Ia menghajar pria keji itu dengan seluruh kekuatannya tanpa ampun sehingga membuat Rahwa yang terkenal sebagai pria terkuat di seantero langit ambruk, luluh lantak, dan bersujud di hadapannya.

“Ampuni aku. Kini aku tahu, ada pria yang lebih kuat dariku dan memang pantas menjadi lelaki yang bisa menjaga putri Kalynda seumur hidupnya. Aku yang juga memiliki cinta untuknya tidak pernah bisa menunjukkannya dengan benar. Sungguh aku malu kepadamu,” ucap Rahwa penuh penerimaan.

Purti Kalynda berhambur ke pelukan Satria. Raja dan ratu tersenyum lega. Peperangan telah usai. Rahwa menghembuskan napas terakhir setelah sebelumnya berikrar bahwa seluruh kerajaan diserahkan kepada Satria.

***

Satria telah menjadi raja. Pria bumi pertama yang berkuasa di alam lain karean kekuatan cinta. Beberapa bulan kemudian Kalynda mengandung dan melahirkan anak kembar yang tampan dan cantik jelita. Satria berjanji, suatu hari akan dibawa turun ke bumi bertemu Ambunya.

Setelah turun ke bumi, Satria mendapat kabar dari Ambu bahwa Kenanga hidup dalam penderitaan. Karena nyatanya Handika juga menjelma menjadi pria keji seperti Rahwa. Namun, tentu saja itu versi manusia bumi. Membuat Kenanga tidak berhenti menyesali pilihan hidup yang telah diambilnya.  (Diantika IE).

***

Judul: “Kalynda dan Satria: Kisah Heroik di Balik Tautan Asmara Penduduk Langit dan Bumi”
Pengarang: Diantika IE
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang pengarang

Diantika IE merupakan nama pena dari Diantika Irma Ekawati, M.Pd. Perempuan yang terlahir dan besar di sebuah kota kecil Ciamis tersebut adalah lulusan dari jurusan PGRA (Pendidikan Guru Raudhatul Athfal) 2007 dan menyandang gelar Magister Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.

Saat ini Diantika IE masih dipercaya sebagai Pejabat (Pj.) Ketua Umum Komunitas Penulis Kreatif (KPKers) Pusat. Sebelumnya ia pernah memegang jabatan itu untuk masa bakti 2018-2020. Selain memiliki hobi menulis cerita pendek, novel, puisi, dan cerita anak. Ia juga memiliki kegemaran membaca, bercerita, dan mendongeng. Diantika memiliki segudang pengalaman sebagai pembicara di beberapa even kepenulisan.

Karya yang pernah dipublikasikan di antaranya buku kumpulan cerpen berjudul “Secarik Pesan Terakhir yang merupakan buku tunggal perdananya, antologi cerpen, antologi puisi, tulisan tentang pendidikan Islam, dan novel berjudul “Handaru”.

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *