PISAU SASTRA (PisTra), Kolom OPINI, Kamis (03/07/2025) – Artikel berjudul “Apresiasi: Menyimak Kembali Serial Gadis Kretek” ini merupakan karya original dari Yoyo C. Durachman, seorang penulis, pengarang, dosen, sutradara, dan budayawan Cimahi. Saat ini aktif sebagai anggota Dewan Penasehat, Pakar, dan Pengawas (DP3) Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC).
Sudah kurang lebih satu setengah tahun Saya menonton Serial “Gadis Kretek” yang diproduksi oleh Base Entertainment dan Fourcollors Film bekerjasama dengan Netflix. Serial ini disutradarai oleh Kamila Andini dan Ifa Isfansyah dengan para pemain: Dian Sastro wardoyo, Ario Bayu, Putri Marino, Arya Saloka dan lain lain. Ceritanya dari novel karya Ratih Kumala dengan judul yang sama.

Serial ini masuk kedalam katagori sepuluh serial yang paling banyak ditonton pada waktu itu di Netflix. Bahkan bertengger sebagai peringkat satu selama tiga minggu dan ditonton di lima negara Eropa dan Amerika Selatan.
Adapun prestasi lainnya, menjadi nominasi dan mendapat penghargaan, di antaranya pada ajang Festival Film Internasional Busan-Korea Selatan dan Festival Film Bandung pada 2024.
Sampai saat ini dari film serial yang saya tonton, belum menemukan lagi film serial produksi Indonesia yang kualitasnya menyamai “Gadis Kretek”, apalagi melebihi. Mungkin ada, tapi luput dari pengamatan saya.
Kenapa bisa demikian? Mungkin pada serial lain yang saya tonton tidak menemukan kesan seperti ini: “Gadis Kretek: Ketika Imajinasi, Emosi, dan Spiritualitas Bertemu dalam Layar”.
Dalam lautan serial yang silih berganti hadir di platform digital, “Gadis Kretek” muncul bukan sekadar tontonan, tetapi sebagai pengalaman sinematik yang utuh. Serial ini mampu memenuhi semua unsur penting yang membuat sebuah film atau serial disebut “baik”.
Secara visual, “Gadis Kretek” unggul. Sinematografi yang puitis, akting yang jujur dan kuat, serta penataan artistik yang mendetail membawa penonton menyelami suasana Indonesia tempo dulu—bukan sebagai latar tempelan, tetapi sebagai dunia yang hidup dan bernapas. Warna, cahaya, dan komposisi visualnya membentuk puisi diam yang tak bisa diabaikan.

Lebih dari itu, serial ini menggugah keterlibatan mental penontonnya. Imajinasi penonton diajak melintasi ruang dan waktu, menyusuri kisah cinta yang dililit sejarah, budaya, dan luka sosial. Emosi kita dibentuk bukan oleh dialog bombastis, tetapi lewat sorot mata, jeda, dan detail-detail kecil yang menggetarkan. Kita tidak hanya menonton, kita ikut mengalami.
“Gadis Kretek” juga memberi ruang bagi pengetahuan: tentang industri kretek, sejarah lokal, relasi sosial, hingga posisi perempuan dalam masyarakat yang bertransformasi. Semua disampaikan tanpa menggurui, justru merangsang daya kognitif kita untuk bertanya dan mencari tahu lebih dalam.
Hal lain yang paling menyentuh adalah kekuatan spiritualitas dalam kisah ini. Ada nilai-nilai tentang kesetiaan, pengorbanan, dan pencarian makna hidup yang terasa halus namun mengena. Serial ini seperti mengajak kita pulang—bukan hanya ke masa lalu Indonesia, tetapi ke dalam diri kita sendiri.
Tak heran jika “Gadis Kretek” dinobatkan sebagai Serial terbaik di ajang Festival Film Internasional Busan-Korea Selatan dan Festival Film Bandung pada tahun yang sama, 2024. Sebuah pengakuan yang layak untuk karya yang bukan hanya indah, tetapi juga bernas.
Sekali lagi, “Gadis Kretek” bukan sekadar serial. Ia adalah karya yang menyentuh imajinasi, emosi, kognisi, dan spiritualitas kita—dan di situlah letak kekuatannya.
Kini, mungkin ada penggemar yang berharap dibuat prekuel dan sekuelnya. Mengingat yang sudah difilmkan baru sepertiga terakhir dari novelnya dan tokoh Arum yang diperankan Putri Marino di adegan terakhir bilang pada Lebas yang dimainkan Arya Saloka bahwa ia akan menelusuri keluarga ayahnya. Nah, kenapa tidak?
***
Judul: Apresiasi: Menyimak Kembali Serial Gadis Kretek
Pengarang: Yoyo C. Durachman
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang pengarang

Yoyo C. Durachman adalah seorang seniman dan budayawan Cimahi yang multitalenta. Pria kelahiran Bandung, 21 September 1954 ini dikenal sebagai dosen, aktor, sutradara, penulis, pengarang, dan budayawan.
Selama karirnya dalam dunia teater, tidak kurang dari 30 pementasan telah dilakukan Yoyo dengan kapasitas sebagai sutradara, pemain, penata pentas, konsultan, dan pimpinan produksi. Naskah drama berjudul “Dunia Seolah-olah” adalah naskah drama yang ia tulis dan dibukukan bersama naskah drama lain milik Joko Kurnain, Benny Johanes, Adang Ismet, Arthur S. Nalan, dan Harris Sukristian.
Pensiunan dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini kini sering diundang sebagai juri maupun sebagai narasumber diberbagai kegiatan kebudayaan. Selain itu, Yoyo juga aktif sebagai anggota Dewan Penasehat, Pakar, dan Pengawas (DP3) Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC).
***