Cerpen “Buku Lusuh”

PISAU SASTRA (PisTra), Kolom RUANG KARYA/CERPEN, Selasa (22/07/2025) – Cerpen berjudul “Buku Lusuh” ini merupakan buah karya dari Drs. Aswin, seorang guru dan Alumni SMPN 1 Angkatan 1982, Kotabumi, Lampung Utara.

Buku adalah aku. Begitulah Anggun bila berbicara tentang buku. Seluruh perpustakaan kota ini sudah ditelusurinya.

Sejak kecil Anggun sangat menyukai buku. Baginya, buku merupakan sahabat sejatinya. Itu pula yang membuat ia tak bisa melupakan waktunya buat membaca.

Buat Anggun, membaca itu merupakan hobinya. Buku-buku terbitan baru pasti dimilikinya. Uangnya habis hanya untuk membeli buku.

Menata buku
Ilustrasi: Anggun sedang menata buku di rak buku yang berisi buku koleksinya – (Sumber: Arie/PISTRA)

Urusan buku selalu menjadi perhatian utama Anggun. Ia selalu rajin menyusun buku-buku koleksinya dengan rapi.

Semua aktivitas Anggun memang tak terlepas dari buku. Bangun tidur, baca buku. Seluruh kemampuannya berasal dari buku. Apa yang pernah ia baca dari buku menjadi sumber kelakuannya.

Anggun selalu haus dan lapar terhadap bahan bacaan yang bersumber dari buku. Semua adrenalinnya bisa ia salurkan melalui buku. Bagi Anggun, buku adalah kehidupannya. Semua waktunya ia dedikasikan untuk buku dan buku merupakan sumber pengetahuannya.

***

Suatu hari Anggun bepergian dengan angkutan umum pedesaan. Ia menumpangnya buat pergi ke pasar menjual hasil kebun. Uang hasil kebun dikumpulkan buat membeli buku.

Hari itu Anggun ingin mencari buku baru. Ia ingin membuat sesuatu. Buku apapun ia beli asal menarik hatinya. Beberapa buku berhasil dibelinya sehingga membuat wajahnya berbinar, bahagia.

Rumah anggun dikelilingi pohon bambu. Ia tinggal bersama kedua orang tua yang bekerja sebagai guru. Saat Anggun berumur sepuluh tahun, ia sudah pandai membaca. Semua buku ia suka. Ibu dan ayahnya mendukung kesukaan anak bungsunya itu, apalagi dalam keseharianya, Anggun rajin membantu orang tuanya.

Tiba-tiba Anggun tertegun melihat sebuah buku yang sudah kusam dan kuno. Buku yang sudah lapuk dimakan usia itu mendadak jadi  menarik perhatiannya.

“Berapa harga buku ini,” Kata Anggun.

“Buku lama itu, cetakan zaman dulu. Apakah kamu bisa membacanya,” jawab penjual buku itu dengan nada ketus, “Cetakan baru ada, tapi harga lumayan, loh!” tambahnya dengan nada agak sinis.

Buku kuno itu akhirnya dibeli Anggun dan ditaruhnya dengan hati- hati, takut rusak.

Sampai di rumah, Anggun menuju kamarnya. Ia mrasa tak sabar ingin membuka buku itu. Dengan hati-hati, ia mencoba membuka buku itu. Setelah dibuka, tampak tulisan-tulisan kuno di dalamnya. Ia merasa kesulitan membaca tulisan itu.

Memang Anggun merasa benar-benar susah dalam memahami isi tulisan dalam buku kuno itu. Namun, ada beberapa petunjuk buat memahami apa yang dimaksud dalam buku kuno itu.

Larut dengan asyiknya membaca membuat Anggun terperanjat ketika melihat sebuah gambar dalam buku itu.

“Bukankah ini peta?” Ujar Anggun berkata sendiri.

Halaman demi halaman dibuka oleh Anggun sehingga ia semakin asik membacanya. Buku tebal ini, tak mungkin tuntaskan dibaca dalam satu hari, pikirnya.

Anggun memang seorang kutu buku sejati. Walau pun sudah larut malam, ia tetap membaca buku kuno itu. Ia penasaran untuk segera menuntaskan bacaannya.

Akhirnya setelah lima hari, buku kuno itu tuntas juga dibaca Anggun. Usai membaca, ia membuat kesimpulan menurut pemikirannya sendiri, sampai akhirnya ia mencoba untuk mengikuti petunjuk yang ada dalam buku itu.

Buku menceritakan tentang harta harun peninggalan Jepang. Pada waktu itu ada sebuah kereta api yang membawa emas berpeti-peti. Dalam perjalanannya, kereta api itu terserang badai yang amat dahsyat sehingga terjadi kecelakaan yang fatal. Kereta api itu terjun bebas ke dalam jurang yang sangat dalam, kemudian menghilang tanpa jejak.

Kereta api
Ilustrasi: Kereta api pembawa peti emas milik tentara Jepang – (Sumber: Arie/PISTRA)

Suatu hari Anggun bertamu ke rumah Pak Untung, seorang Kepala Kampung. Konon kata orang, Kepala Kampung tersebut mengetahui kejadian dalam buku kuno tersebut. Tujuan Anggun bertamu karena ia ingin mengetahui kebenaran cerita itu langsung dari mulut Pak Untung.

Pak Untung merupakan seorang tokoh desa yang telah sepuh. Masa mudanya dihabiskan ikut berjuang dalam memperoleh kemerdekaan Indonesia. Mungkin ia mengetahui kisah sebenarnya dari kejadian itu.

“Apakah Mbah ingat kisah tentang adanya kereta api milik tentara Jepang yang membawa emas berpeti-peti, lalu terguling masuk jurang saat melintasi Jembatan Kereta Terbanggi, kemudian menghilang tanpa jejak,” ujar Anggun kepada Pak Untung saat bertamu ke rumahnya.

Mbah untung terkejut atas pertanyaan yang dilontarkan Anggun. Soalnya kejadian tersebut sudah lama terjadi dan tak seorang pun yang mengetahui secara persis kejadiannya kecualia dia.

“Itu cerita. Mbah ingat, peristiwa itu terjadi pada tahun 1942 ketika pertama kali Jepang datang ke Indonesia.. Tujuan mereka meluncuti senjata Belanda, tapi akhirnya merampas emas mereka di pertambangan,” ujar Pak Untung menjelaskan.

Anggun gembira mendengarkan cerita Mbah Untung. Seperti ia duga sebelumnya, cerita Mbah Untung ini sesuai sekali dengan buku yang dibacanya.

“Kejadian itu sudah lama sekali. Siapa yang menceritakannya ya?” Tanya Mbah Untung pada Anggun dengan penuh selidik.

“Ada di buku ini, Mbah,” jawab Anggun singkat.

Mbah Untung mengamati buku lusuh itu. Ia berdiri meninggalkan Anggun di ruang tamu menuju kamarnya. Kemudian kembali lagi sambil membawa beberapa buku.

“Walau pun buku ini lusuh, tetapi masih layak dibaca. Buku Mbah ini, memuat sejarah bangsa kita, seperti kata Soekarno, Jasmerah, Jangan melupakan sejarah,” ujar Pak Untung.

Untuk sesaat, Anggun terpaku menatap buku lusuh itu di meja.

“Mbah senang, anak muda sepertimu suka membaca. Buku adalah jendela ilmu,” lanjut Pak Untung, “Indonesia bukan didapatkan dari hadiah, melainkan hasil perjuangan. Bersyukurlah pada orang tua dahulu yang selalu mewariskan buku-buku seperti ini, biar bisa menjadi pelajaran bagi generasi akan datang. Mbah ingin mewariskan buku-buku ini buat dibaca olehmu, supaya dirimu bisa mempelajari dan memahami apa arti perjuangan para pahlawan kita,” ujar Pak Untung panjang lebar.

Anggun beranjak dari rumah itu sembari membawa beberapa buku lusuh pemberian dari Mbah Untung. Anggun tersenyum bahagia memperoleh buku-buku itu. Ia mencoba membuka buku-buku itu untuk mencari jawaban yang sedang dicarinya.

Cerita Pak Untung telah membawa Anggun hanyut dalam peristiwa jatuhnya kereta api yang membawa gerbong berisi peti-peti emas milik tentara Jepang. Ia berpikir keras ingin mengetahui keberadaan kereta api tersebut.

Apakah satu kereta api yang hilang atau salah satu gerbong pembawa emas yang hilang?  Pikir Anggun. Malam telah larut. Akhirnya Anggun dapat menyimpulkan bahwa emas Jepang tersebut sudah berhasil direbut oleh pejuang kemerdekaan bangsa kita.

Saat itu pejuang kita sempat menyaksikan gerbong kereta api yang pembawa peti-peti berisi emas tentara Jepang terjatuh di Jembatan Kereta Api Terbanggi. Pasukan Jepang mencoba mengambil emas tersebut, tetapi dihalangi oleh pejuangan kita. Saat itu terjadi pertempuran hebat yang dimenangkan oleh para pejuang kita.

***

Judul: Buku Lusuh 
Pengarang: Drs. Aswin
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang pengarang

Pria bernama lengkap Drs. Aswin, M.M. ini merupakan lulusan Program S1 Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,  Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung  ̶  sekarang berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Angkatan ’85.

Drs. Aswin, M.M., pengarang dan pengajar di SMAN 3 Kotabumi, Lampung Utara – (Sumber: koleksi pribadi)
Drs. Aswin, M.M., pengarang dan pengajar di SMAN 3 Kotabumi, Lampung Utara – (Sumber: koleksi pribadi)

Selanjutnya alumni SMPN 1 Kotabumi, Lampung Utara, Angkatan 1982 ini menempuh studi pascasarjana dengan mangambil Program S2 Magister Manajemen di Universitas Saburai, Kota Bandar Lampung dan lulus dengan gelar akademis M.M. (Magister Manajemen). Kini pria penggemar sastra ini berprofesi sebagai  pengajar di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung hingga.

Aswin hidup bahagia bersama pasangan hidupnya, Dra. Baroroch, alumni Bahasa Sastra Arab IKIP Bandung Angkatan 1989. Istrinya ini juga bekerja di tempat yang sama di SMAN 3 Kotabumi.

Buah perkawinan Aswin dan  Baroroch menghasilkan empat orang putra yang ganteng-ganteng. Mereka adalah putra sulung bernama Fahri Muhammad (alumni Teknik Perkapalan Universitas Diponegoro), putra kedua bernama Farhan firdausi (alumni Fakultas Psikologi UPI Bandung), putra ketiga bernama Fikri Muhammad (Masih kuliah di Fakultas Teknik Kimia Universitas Lampung), dan putra bungsu bernama Fadil Fauzani (masih kuliah di ITB STEI Teknik Informatika).

***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *