PISAU SASTRA (PisTra), Kolom RUANG KARYA/CERPEN, Kamis (03/07/2025) – Cerpen berjudul “Kakek dan Cucu: Tentang Perang yang Tak Terlihat” ini merupakan karya original dari Yoyo C. Durachman, seorang penulis, pengarang, dosen, sutradara, dan budayawan Cimahi. Saat ini aktif sebagai anggota Dewan Penasehat, Pakar, dan Pengawas (DP3) Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC).
Di dunia yang riuh oleh gemuruh senjata, perang kerap dilihat sebagai tontonan, sebagai legenda, sebagai jalan menuju kehormatan. Namun, di sebuah rumah kayu yang tenang di pinggir kampung, seorang kakek dan cucunya sedang memulai percakapan yang jauh lebih dalam—tentang perang yang tak tercatat dalam buku sejarah, tapi menentukan arah hidup manusia: perang dalam diri.

Pertama:
Angin pagi menyusup pelan lewat celah jendela rumah kayu tua itu. Di teras yang menghadap kebun, dua cangkir teh mengepul di atas meja bundar. Seorang lelaki tua duduk di kursi goyang. Di kakinya, seorang anak laki-laki usia sepuluh tahun duduk bersila, memegang mainan tank plastik.
“Eyang,” tanya bocah itu pelan, “Benarkah perang itu seru?”
Kakek menghentikan goyangan kursinya, “Siapa yang bilang begitu?”
“Di film. Di game. Di YouTube. Tank-nya nembak, jetnya terbang, ledakannya keren.”
Senyum kakek memudar, “Ya, seru… kalau cuma ditonton. Tapi tahu tidak, perang yang paling berat justru bukan yang pakai tank atau jet.”
“Terus pakai apa, Eyang?”
“Kadang… pakai hati.”
Cucu mengernyit, “Seperti lapar?”
“Lapar… tapi bukan makanan. Lapar kuasa. Lapar pujian. Lapar menang sendiri. Kalau tak bisa ditahan, nafsu itu tumbuh, lalu menyebar dan jadilah perang. Mulai dari dalam diri, lalu keluarga, lalu negara.”
Cucu memandang tank mainannya, “Berarti ini …hasil dari perang hati?”
Kakek mengangguk, “Kamu cepat paham.”
“Eyang pernah ikut perang?”
Kakek menatap ladang jauh di seberang, “Eyang pernah, tapi bukan di medan tempur. Di dalam hati. Melawan rasa marah, iri, dan takut.”
Cucu menggenggam tanknya, “Kalau aku bisa menang di sini,” katanya sambil menunjuk dadanya, “Aku enggak akan ikut perang besar nanti?”
Kakek tersenyum, “Begitulah.”
Kedua:
Di pojok ruang belakang, cucu menemukan sebuah peti kayu tua saat bermain. Ia membukanya dan menemukan surat-surat, foto tua, dan medali kecil berkilau. Ia memanggil kakeknya.
Saat melihat isi peti, kakek terdiam. Wajahnya seperti diselimuti kabut lama yang tak lagi punya kata.
“Eyang, ini medali tentara ya? Eyang pernah ikut perang?”
Kakek duduk pelan, menatap foto itu. Ada lima pemuda tersenyum.
“Kami direkrut muda. Katanya demi tanah air. Tapi di medan perang yang kami lihat bukan kehormatan. Yang kami lihat… luka. Kehilangan.”
Ia menunjuk satu per satu.
“Jaka. Pelukis. Mati kena ranjau. Rahmat. Cita-citanya jadi guru. Gugur. Dewa. Si periang. Hilang. Eyang… satu-satunya yang kembali.”
Cucu terdiam, “Kenapa Eyang nggak pernah cerita?”
“Karena luka itu bukan untuk dibanggakan. Tapi mungkin sudah waktunya kamu tahu.”
“Kalau begitu… aku janji nggak akan minta perang lagi. Enggak akan main perang-perangan.”
“Mainlah damai. Jadilah pelindung, bukan penyerang.”
Sore itu, peti ditutup kembali, tetapi cerita itu hidup dalam hati cucu sebagai bekal menghadapi dunia.
Ketiga:
Suatu sore, cucu pulang dengan wajah masam. Ia merasa dipermalukan karena tidak membalas dorongan temannya.
“Mereka bilang aku penakut, Eyang…”
Kakek duduk di sampingnya, “Kamu tahu, kadang memilih tidak membalas itu jauh lebih sulit.”
“Tapi kenapa cinta enggak pernah diajarkan di sekolah?”
Kakek tertawa, “Karena banyak yang belum sadar. Dunia ini lebih butuh kasih sayang daripada kemenangan.”
“Kalau aku tetap nggak balas Reza… aku pengecut?”
“Tidak. Kamu pemenang dari perang yang tak terlihat.”
Senja pelan-pelan turun. Di teras rumah tua itu, dua generasi duduk berdampingan. Bukan tentang tank atau senjata, tapi tentang cinta yang diam-diam menumbuhkan kekuatan sejati.
Perang yang paling mematikan bukanlah yang di medan tempur, tetapi yang tumbuh diam-diam dalam batin manusia. Di rumah sederhana itu, seorang cucu telah belajar bahwa dunia tak selalu butuh pahlawan yang membawa senjata—kadang, dunia cukup diselamatkan oleh seseorang yang tahu kapan harus diam, kapan harus memaafkan, dan kapan harus mencintai
***
Judul: Kakek dan Cucu: Tentang Perang yang Tak Terlihat
Pengarang: Yoyo C. Durachman
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang pengarang
Yoyo C. Durachman adalah seorang seniman dan budayawan Cimahi yang multitalenta. Pria kelahiran Bandung, 21 September 1954 ini dikenal sebagai dosen, aktor, sutradara, penulis, pengarang, dan budayawan.
Selama karirnya dalam dunia teater, tidak kurang dari 30 pementasan telah dilakukan Yoyo dengan kapasitas sebagai sutradara, pemain, penata pentas, konsultan, dan pimpinan produksi. Naskah drama berjudul “Dunia Seolah-olah” adalah naskah drama yang ia tulis dan dibukukan bersama naskah drama lain milik Joko Kurnain, Benny Johanes, Adang Ismet, Arthur S. Nalan, dan Harris Sukristian.
Pensiunan dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini kini sering diundang sebagai juri maupun sebagai narasumber diberbagai kegiatan kebudayaan. Selain itu, Yoyo juga aktif sebagai anggota Dewan Penasehat, Pakar, dan Pengawas (DP3) Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC).
***