MENANTI IBU PULANG

Violet Senja

Ilustrasi: Seorang anak sedang mengasuh adiknya yang masih bayi dengan tatapan kosong melihat ke luar jendela rumahnya yang butut – (Sumber: Bing Image Creator AI/PS)

Satu petak rumah tanpa kamar, hanya sekat meja lapuk sebagai pembatas tempat untuk tidur dan dapur. Pintu utama disangga dengan kayu sebab beberapa engselnya terlepas. Kain batik yang mulai koyak dipilih sang ibu untuk sekadar menutupi kaca jendela yang sudah buram.

Tangis bayi memecah kesunyian hari. Suara serak terdengar karena sudah terlalu lama menangis. Seorang gadis kecil meraih gelas yang masih terisi setengah air teh manis yang dibuatkan ibu tadi pagi. Ia meminumkan air tersebut untuk menenangkan sang adik. Tapi, bayi berusia 2 bulan itu tidak juga berhenti menangis. Apa yang bisa dilakukan kakak kecilnya? Hanya tepukan tangan mungil yang berusaha mendiamkan hingga akhirnya suara tangisan reda dan menghilang. Adik bayi pun mulai terlelap.

“Jangan nangis lagi ya, Dek. Sebentar lagi ibu pasti pulang.” Setelah sang adik berhenti menangis Anisa keluar. Dari ambang pintu ia menatap sebuah proyek bangunan besar, “Ibu pasti pergi ke bangunan itu, pasti banyak yang akan ibu bawa pulang,” batinnya.

Sejak tadi pagi ibu berangkat belum ada sesuap nasi pun yang ia makan, “Ibu… kapan pulang, Nisa Lapar,” gumamnya seraya terus memegang perut dengan kedua tangannya.

“Jaga adik baik-baik ya… jangan pergi ke mana-mana sebelum ibu pulang, nanti ibu bawakan pisang goreng,” janji ibu pagi itu sebelum berangkat mengais rejeki sebagai pemulung demi sesuap nasi dan biskuit untuk adik bayi. Kepada anak perempuannya yang belum genap 6 tahun.

Sore menggantung di lazuardi tapi ibu belum Kembali. Gadis kecil itu masih membayangkan sang ibu pulang dengan menenteng kantong plastik berisikan pisang goreng kesukaannya.

Anisa, seorang anak yang terlahir dalam potret kehidupan keluarga yang terbelenggu kemiskinan. Latar belakang yang cukup tragis. Ayah yang berjuang di jalanan sebagai tukang sol sepatu keliling, pergi meninggalkannya setahun yang lalu, menjadi korban tabrak lari sebuah truk pengangkut batu. Beberapa hari setelah kepergian sang ayah, ibu Anisa baru menyadari jika saat itu ia sedang hamil muda.

Sejak saat itu hidup mereka menjadi tidak menentu, sering sekali tidak ada nasi di rumah, karena hanya ibu yang mencari uang sebagai pemulung. Pernah ibu menjadi buruh cuci, tapi gaji yang diberikan sang majikan satu bulan sekali, hingga akhirnya ibu memutuskan untuk memulung barang bekas agar mendapatkan uang setiap hari meskipun sedikit.

Kini sang ibu hanya menjadi pemulung plastik dan besi-besi yang tidak terpakai, agar mendapatkan uang setiap hari, untuk sekadar membeli beras agar dapat menyambung hidup bersama kedua anaknya.

Beberapa program pemerintah yang ramai dibicarakan sedikit pun belum pernah di terima. Pernah satu hari Anisa dan Ibu pergi ke warung untuk membeli bahan pokok, dalam perjalanan pulang mereka melintasi kerumunan antrean orang yang sedang mengambil beras program pemerintah. “Mereka sedang apa Bu?” tanya Nisa.

“Ibu juga tidak tahu, hanya kabarnya hari ini ada pengambilan beras dari pemerintah,” jelas ibu.

“Ayo, Bu… kita ikut ngambil,” ajak Anisa polos.

“Tidak bisa, Nak… hanya yang memiliki kupon yang bisa ambil dan Ibu tidak punya kuponnya,” jawab ibu seraya tersenyum.

“Kenapa pemerintah tidak bagi rata kuponnya? Kita juga kan butuh beras sama seperti mereka,” ucap Anisa kembali seraya menatap ibunya.

“Ini, kita sudah punya untuk makan hari ini,” jawab sang ibu seraya mengangkat tentengan di tangannya lalu membetulkan posisi adik bayi yang sudah terlelap dalam gendongannya. Mereka pun tertawa dan kembali berjalan menuju rumah dengan menenteng 1 liter beras dan 1 bungkus biskuit untuk adik bayi hasil keringat ibu hari itu.

Kini wanita yang terlihat lebih tua dari usia sebenarnya, tengah menangis dalam sel salah satu kantor polisi. Membayangkan kedua bocah yang menanti kepulangannya di rumah.

Siang tadi di saat ia sedang mengais barang-barang bekas di dalam proyek, tiba-tiba security menyeretnya. Ia dianggap telah mencuri barang-barang bekas tersebut. Padahal yang ia ambil hanya botol-botol plastik, ember-ember kecil bekas cat, hanya saja ia sedikit mengambil besi-besi sisa potongan. Itulah yang membuat ia dituduh sebagai pencuri.

Ia membayangkan jika menjual besi-besi itu, pasti hasilnya akan lebih banyak. Toh jika pun besi-besi itu tidak diambil hanya akan terus bertumpuk dan hangus dimakan karat, karena sudah banyak sekali tumpukan-tumpukan besi tua itu.

Namun takdir berkata lain, semua tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Sekarang ia dituduh sebagai pencuri dan anak-anak menjadi korban.

Semua tidak ada yang mau mendengar penjelasannya, meski ibu muda tersebut sudah berkali-kali menjelaskan dengan berurai air mata.

“Baik, Pak… jika memang saya harus di penjara, izinkan saya pulang terlebih dahulu, di rumah anak-anak saya masih sangat kecil untuk ditinggal tanpa berpamitan,” ujarnya setengah mengiba.

“Tidak perlu banyak alasan!” ucap penjaga kantor polisi tersebut seraya mendorong wanita itu ke dalam sel sempit.

Ya…. Allah aku titip anak-anakku, Kau yang maha segalanya,” gumamnya setelah merasa lelah menangis dan berteriak.

Sementara Anisa, bocah yang belum memahami kerasnya kehidupan tapi sudah merasakan pahitnya kemiskinan, ia terus memandang ke ujung jalan dengan senyum yang tak lepas dari sudut bibirnya. Membayangkan sang Ibu pulang dengan membawa pisang goreng atau sebungkus nasi, karena saat ini perutnya sudah sangat perih menahan lapar.

Ketika ibu pulang nanti Nisa akan bilang jika ia sudah menjadi anak baik, menjaga adik sampai ibu kembali. Sekarang adik sudah tertidur dengan lelap, dia tidak menangis lagi.

Anisa tidak pernah tahu jika adik bayinya, terpejam dalam tidur panjang dengan tenang…. Terlelap untuk selamanya, sang adik telah pergi dengan membawa rasa haus dan dahaga.

*Untuk mereka yang hidup dan berjuang di bawah garis kemiskinan.

Tentang Pengarang:

Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platform. Ia biasa menggunakan nama “Violet Senja” sebagai nama pena dalam setiap karya fiksinya.

Karya antalogi yang telah diterbitkan dalam buku MERAMU BUIRAN KISAH penerbit Sastra Media Cibiru, dan karya genre Fantasy dalam buku JEJAK-JEJAK MASA LALU bersama teman-teman yang tergabung dalam komunitas Nulis Aja Dulu.

Ibu dari satu orang putri dan satu orang putra ini juga merupakan seorang tenaga pendidik non formal, kreator digital, aktivis sosial di bidang psikotropika, dan wirausahawati di bidang kuliner. Kembali menekuni hobi lama dalam dunia kepenulisan dan mulai mendalaminya sejak tahun terakhir.

Ia berkeinginan untuk terus menulis sampai usia senja, seperti motto hidupnya “Hidup hanya sekali dan jangan biarkan menua tanpa arti”.

Unuk berinteraksi dengan penulis, pembaca bisa menghubungi alamat email: nenengsalbiah51@gmail.com atau melalui pesan WhatsApp di 089516942847 (Fast Respond)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *