MANUSIA SUNYI

Lenny Nurlina Ratna Kancana

Gambar: Bing Image Creator

Takkan ada yang mengerti percakapan mereka berdua, seorang lelaki dan seorang perempuan. Semuanya tampak wajar bila dilihat sepintas. Sepasang manusia, menikmati senja yang merah dari ambang jendela kelas di lantai 5 sebuah gedung universitas yang terletak di atas bukit.

          Keduanya terdiam agak lama, masing-masing tengah bergelut dengan pikiran sendiri. Hanya sesekali saja keheningan itu pecah dengan bisikan kecil dan perdebatan yang tidak terlalu penting antara keduanya. Namun tidak lama, karena setelah itu akan hening kembali seperti tak pernah ada sesuatu.

          Keduanya bukan sepasang kekasih, bukan pula sepasang sahabat. Ikatan di antara mereka lebih erat dari itu semua. Mereka memiliki ikatan perasaan yang saling memahami tanpa harus mengutarakan perasaan satu dengan yang lain. Mereka sepasang manusia sunyi.

         “Kau tahu mengapa langit senja hari berwarna merah?” tanya sang lelaki.

          Sang perempuan hanya menggeleng tanpa melirik.

          “Ayahku bilang, saat senja para malaikat berkumpul dan menghadap Tuhan.”

          “Lalu?” tanya sang perempuan yang mulai tertarik.

          “Roh orang-orang mati tidak ada yang mengawasi. Maka saat itulah mereka dapat menemui kita.”

          “Kau bohong!”

          “Kita memang tak dapat melihatnya, tapi mereka dapat melihat kita, mendengar kita, bahkan duduk di samping kita.”

          “Kau hanya menakutiku kan?”

          “Tidak! Ayahku selalu bercakap dengan almarhumah ibuku saat senja.”

          Tanpa berkata apa-apa sang perempuan menatap lelaki itu dengan penuh pemahaman. “Jadi itukah sebabnya kau sangat menyukai senja?”

          “Ya, itulah sebabnya aku menyukai senja.”

          Sang perempuan kembali menatap senja, kali ini dengan penuh penghargaan dan ia tersenyum.

          “Ibumu pasti sangat sayang padamu.”

          “Entah…, kupikir ibuku justru membenciku.”

         “Kenapa kau berpikir seperti itu? Setiap ibu sangat menyayangi anaknya. Dan kupikir ibumu pun demikian.”

          Sang lelaki tertegun, “Benarkah?” bisiknya.

          “Aku ingat temanku. Ia sangat mengagungkan ibunya, hingga ia berpikir tak ada perempuan manapun yang akan bertakhta di hatinya selain ibunya. Kau tahu kenapa?”

          Sang lelaki menggeleng tanpa memalingkan wajahnya dari semburat warna merah di ufuk timur.

          “Ibunya telah memilih untuk bercerai dari suaminya dengan alasan ia khawatir kasih sayang untuk anaknya berkurang karena harus dibagi dua dengan sang suami.”

          “Kau bodoh, mana ada yang seperti itu?”

          “Kau tak percaya?”

          Sang lelaki tersenyum mengejek.

          “Kejadian ini telah berlangsung 20 tahun yang lalu dan sampai saat ini ibu dari temanku itu tak pernah menikah lagi, bahkan sekedar berteman dengan lelaki lain, kecuali anaknya. Dan temanku itu tak mau kalah, sampai saat ini ia tak pernah berpacaran apalagi menaruh hati pada perempuan manapun. Ia hanya melihat ibunya. Ia kini terperosok pada kesunyian, karena di dunia ini hanya sedikit saja lelaki yang seperti dia, menyukai sesama jenis, juga mengagungkan ibu.”

          “Tapi kisahku sama sekali berbeda….”

Sang perempuan terdiam menyimak.

“Aku… aku telah menyebabkan ibuku meninggal!”

          Kini sang perempuan menatap sang lelaki dengan penuh keheranan.

          “Ibuku meninggal saat melahirkanku.”

          Hening, sang perempuan tak tahu harus berkata apa, baginya kematian adalah sesuatu yang wajar dan tak perlu disesali oleh siapa pun. Kematian adalah proses alami yang setiap orang harus menjalaninya.

          Ia ingat, kekasihnya dulu meninggal dalam dekapannya karena kecelakaan lalu lintas. Darah yang menggenang, hiruk-pikuk orang, semua tampak sunyi baginya. Ia seolah melihat sepasang makhluk bersayap menggandeng kekasihnya yang dilihatnya tersenyum. Ia menangis, namun alangkah terkejutnya ia, karena malamnya sang kekasih datang, menciumnya dan menyuruhnya untuk tidak bersedih.

          “Jangan menangis! Sayang, kamu tampak jelek ketika menangis. Aku tidak suka perempuan jelek,” ucap roh sang kekasih.

          Ia ingin tertawa dalam tangisnya.

          “Apa yang kamu tangisi? Kematianku?”

          Ia mengangguk masih dalam linangan air mata.

          “Ha… ha… ha…,” tawa roh sang kekasih terbahak, “Sayang, kenapa kamu bodoh seperti ini? Kamu tidak perlu bersedih, suatu hari kamu pasti mengalaminya.”

          Ia masih belum mengerti.

          “Sayang, kematian ini tak perlu kau tangisi. Hidup ini sederhana dan kematian pun sederhana, apa lagi yang kamu pusingkan? Aku masih akan hidup, di sini, dalam alam yang sesungguhnya, dan juga dalam hatimu.”

          Sang perempuan tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum pada langit yang membara. Mungkin di sana, di atas awan, atau mungkin di sini, di sebelahnya, duduk sang kekasih yang sangat dicintainya.

          Sang lelaki masih dalam penyesalannya.

“Aku ingat temanku. Ia seorang yang sangat mencintai ibunya, hingga bila ia disuruh untuk bersujud, maka orang pertama yang akan dia sujudi adalah ibunya. Dulu kupikir ia seorang oedipus-complex, tapi ternyata bukan,” ucap sang perempuan tiba-tiba.

Sang lelaki tak begitu menghiraukan cerita sang perempuan. “Cerita seorang gay yang lain?” tanyanya sinis.

         “Ibunya lebih menyayangi dia dari apapun. Ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan membesarkannya juga telah melindungi dia dari kemarahan suaminya, yang tak lain ayah dari temanku sendiri,” jawab sang perempuan tanpa menghiraukan pertanyaannya. “Kau tahu kenapa ayahnya marah?”

          Sang lelaki menggeleng, masih tak begitu menghiraukan cerita sang perempuan.

          “Temanku itu telah membunuh selingkuhan ayahnya,” sang perempuan berhenti pada pertengahan ceritanya untuk melihat efek yang ia timbulkan pada sang lelaki.

          “Aku belum melihat wujud sayang seorang ibu dalam ceritamu itu. Bila melindungi dari kemarahan sang ayah karena selingkuhannya dibunuh adalah suatu realisasi dari kasih sayang seorang ibu yang kau maksud, menurutku itu wajar. Mungkin saja sebelumnya si ibu diam-diam merencanakan untuk membunuh selingkuhan suaminya,” tanya sang lelaki acuh tak acuh.

          “Untuk melindungi temanku, si ibu rela menerima tusukan pisau yang diarahkan suaminya pada anaknya. Dan si ibu juga rela mendekam dalam penjara menggantikan anaknya dengan pengakuan palsu ia telah membunuh suaminya dalam pertengkaran hebat.”

          “Dan si anak?”

          “Temanku itu, kini berada dalam kesunyian dan rasa bersalah yang dahsyat. Tapi sedikit pun ia tak terjerumus dalam lembah kesedihan, ia kini mengembara dari negeri ke negeri, memutar lagu pada tiap tempat, hip-hop, R&B, jazz, reggae atau apapun yang berbau party. Ia yang menghidupkan malam di kota-kota yang berlampu, juga di kota ini.”

          Sang lelaki terdiam. Warna merah yang menyala di ufuk timur sedikit demi sedikit memudar.

          Suasana begitu hening, sang perempuan tahu sang lelaki tengah bimbang antara menceritakan dan tidak isi kepalanya.

          “Ibu…,” teriak sang lelaki pada senja yang sebentar lagi berganti hitam, “Maafkan aku!”

          Sang perempuan tersenyum.

          “Suatu hari, aku akan menghampiri lembayung itu dan membuktikan omonganmu.”

          Kini sang lelaki yang tersenyum. “Bagaimana denganmu?” tanyanya.

          Sang perempuan diam, menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

          “Kau membuang bebanmu? Padahal tiap beban yang kau buang itu akan menumpuk dalam otak tak sadarmu, menghimpitnya, dan menguburnya dalam-dalam. Kau sadar telah berapa banyak penumpukan yang kau lakukan?”

          Sang perempuan hanya menggeleng.

          “Pantas saja kau tidak peka, kau telah mematikan hatimu. Itu sama artinya dengan bunuh diri.”

          Bisu. Diam-diam matahari menyelinap di balik cakrawala. Lembayung surut dan kini semburat merah tinggal segaris horison yang memisahkan langit dan bumi.

          “Aku?” tanya sang perempuan, “Apa lagi yang perlu aku hiraukan? Aku telah menjalani hidupku dengan baik.”

          Sang lelaki menatap perempuan itu dalam keremangan yang sebentar lagi menjadi gelap. Ada sebongkah kesunyian dalam kata-kata perempuan itu. Mungkin hampir sama dengan bongkah kesunyian yang bersarang dalam hatinya.

          “Kau lihat laki-laki itu?” tunjuk sang perempuan pada sosok laki-laki yang tengah bergandengan tangan dengan seorang perempuan di trotoar jalan.

          Sang lelaki melihat sosok yang ditunjuk. “Dia, dia mirip orang yang kau cintai!”

          “Itu memang dia!” tegas sang perempuan.

          Kedua sosok yang dilihatnya terus berjalan menuju rimbunan pohon-pohon.

          “Kau sedih?” tanya sang lelaki.

          Sang perempuan tidak menjawab. Kedua matanya yang kelam tampak berlubang oleh kekosongan yang kini bertambah.

          “Kau mau mengejarnya dan merebut ia kembali ke dalam pelukanmu?”

          Sang perempuan menggeleng hampa.

          “Mengapa?” sang lelaki tidak mengerti, “Bukankah kau sendiri yang mengatakan bila kita harus memperjuangkan apa yang kita inginkan!”

          “Lalu bagaimana denganmu?” jawab sang perempuan, “Apa kaupun mau memperjuangkan cinta yang kau ingini?”

          Sang lelaki membuang muka dari senja yang hampir tenggelam, trotoar jalan, juga tatapan sunyi sang perempuan. Ia ingin membuang segala sunyi yang menyesak dalam dadanya. Ditatapnya pintu yang sebentar lagi tertutup, kursi-kursi yang kosong, sampah-sampah yang berserakan, papan tulis yang penuh coretan, dan ia ingat sesosok perempuan yang selalu duduk di deret kedua. Perempuan itu sangat manis dengan tawa yang selalu berderai, perhatian yang berlebihan, dan segala sesuatu yang membuatnya yakin kalau perempuan itu akan menerima cintanya.

          Ternyata, perempuan itu hanya berkata, “Maaf, aku kira akan lebih nyaman bila kita hanya berteman.” Setelah itu, musnahlah semua harapan sang lelaki.

          “Aku adalah lelaki yang telah dikutuk untuk selalu merasa sunyi. Setiap perempuan yang aku dekati pasti mendapat bencana.”

          “Pernyataan macam apa itu? Tolol sekali!” ejek sang perempuan, “Aku perempuan, sudah hampir dua tahun kita berteman, dan aku masih baik-baik saja.”

          Sang lelaki tersenyum, “Kamu tidak mencintaiku, tentu kamu baik-baik saja.”

          Kini langit sempurna hitam, bintang-bintang mulai berkerlap-kerlip membentuk rasi yang selama beribu tahun tak pernah berubah. Lampu-lampu trotoar telah lama menyala menampilkan dua sosok manusia yang kini berciuman.

          “Mereka tampak bahagia,” ucap sang perempuan sayup.

          “Kalau begitu, aku yang akan mendatangi lelaki itu dan menyeretnya ke hadapanmu.”

          “Kau gila.”

          “Tapi aku akan lebih gila bila melihatmu menderita.”

          Sang perempuan terdiam. Ia melangkah pergi dari ruangan yang sebentar lagi benar-benar pekat itu. Sang lelaki mengikuti dengan kesal. Lorong-lorong yang mereka lalui, bagai labirin hitam yang menganga dalam jiwa kedua manusia sunyi itu.

          “Aku tak mengerti, mengapa kau tak mau berjuang, bukankah dulu kau pernah mengatakan bahwa hanya lelaki itu yang dapat melengkapi kekosongan yang kau derita setelah kau kehilangan almarhumah kekasihmu? Kalian saling mencintai, tapi mengapa kau biarkan dia bersama perempuan lain,?”

          Sang perempuan berhenti melangkah, “Bila orang yang kita cintai masih mencintai kita, pantaskah kita meninggalkannya?”

          “Tidak!”

          “Lalu apa yang akan kita lakukan?”

          “Genggam ia dengan kedua tanganmu!”

          “Bila ada orang lain yang mencintai kita bagaimana?”

          “Tetap pertahankan apa yang kita cintai.”

          “Bila keberadaan orang yang mencintai kita tanpa kita cintai lebih diharapkan oleh orang yang kita agungkan, daripada orang yang kita cintai, apa yang akan kau lakukan?”

          Sang lelaki terdiam.

          “Aku tak punya pilihan lagi selain menuruti kehendak orang yang kita agungkan. Tapi aku tak akan memposisikan diriku sebagai orang yang kalah. Aku akan tetap berdiri dan menengadah, aku akan menang dalam kekalahanku.”

          “Dan kau akan makin merasa sunyi.”

          “Lalu apa yang akan kau lakukan?” teriak sang perempuan.

          Giliran sang lelaki yang menarik nafas dan melangkah pergi. “Entah,” bisiknya, “Aku tidak yakin akan sekuat dirimu….”

          “Lalu apa yang akan kau lakukan?” teriak sang perempuan sekali lagi.

          “Mungkin aku pun akan menjalani hal yang sama denganmu. Tapi aku lelaki, mungkin aku akan mencari wanita-wanita penghibur, mengambil satu atau dua untuk kujadikan istri muda, atau mungkin… aku akan meloncat dari jendela kelas kita.”

          “Bunuh diri?” sang perempuan menarik nafas jengkel dan sedih. “Kau sama saja dengan membuka pintu neraka dan dengan sukarela menjadi penghuni abadinya.”

          “Tidak, aku tidak akan mati, hanya mengharapkan gegar otak supaya aku dapat melupakan semua yang pernah terjadi dalam hidupku dan menjadi manusia baru.”

          Sang perempuan mendengus dan tertawa menyadari kekhawatirannya, “Kau tahu, sebenarnya perempuan yang kau cintai itu mencintaimu juga.”

          “Ah sudahlah, tak usah menghiburku.”

          Mereka pun kembali menyusuri lorong-lorong yang gelap, segelap jiwa mereka.

          “Dia baru merasa mencintaimu setelah kehilanganmu.”

          Sang lelaki tak menjawab, ia hanya merasakan titik-titik bintang bersinar cemerlang dalam lorong hatinya.

          “Besok, cobalah kau dekati dia, nyatakan cintamu sekali lagi….”

* * *

          Seorang perempuan tanpa identitas ditemukan tewas pagi ini di pelataran kampus Universitas A. Karena tidak adanya bukti penganiayaan, Polisi setempat, menduga perempuan ini bunuh diri dengan cara melompat dari ruang kelas lantai 5. Kini Jenazahnya berada di RS Kota untuk mendapatkan visum.

* * *

          “Hei, apa yang kamu lakukan di tempat ini?” teriak seorang polisi, senja itu di ruang kelas di lantai 5 sebuah gedung universitas yang terletak di atas bukit.

          Sang lelaki yang ditanya diam tak menjawab. Pandangannya diarahkan pada senja yang kali ini tampak kelabu.

          “Tempat ini termasuk TKP bunuh diri pagi tadi, cepat pergi dari sini!”

          Sang lelaki yang ditanya tetap tak menjawab. “Kau, perempuan bodoh, sudah kubilang setiap perempuan yang dekat denganku akan mendapat bencana, dan kau…,” gumamnya.

          “Hei, kamu tuli ya?” polisi itu semakin kesal. “Pergi!” teriaknya.

          Sang lelaki meninggalkan ruangan itu dengan lunglai. Lorong-lorong yang dilaluinya kini dua kali lebih sunyi daripada yang dirasakannya semalam. “Perempuan ini, pergi subuh tadi, saat langit berwarna merah karena fajar. Dia pikir malaikat berkumpul kembali menghadap Tuhan saat itu, agar ia dapat menyelinap menemui kekasihnya sebelum pergi.”

          Ditatapnya sekali lagi senja yang berwarna kelabu. Titik-titik hujan jatuh dalam irama yang sama, mencuci genangan darah yang pagi tadi memuncrat dari kepala sang perempuan.

“Hari ini tampaknya malaikat tidak menghadap, mereka sibuk menjaga roh-roh orang yang telah mati dan terutama kau, perempuan cerewet yang sok tegar. Senja ini kau tak dapat menemuiku bukan. Tapi tak apa, esok mungkin kau dapat menemuiku dan kita akan bercerita lagi di ruang kelas kita, sambil menikmati senja. Bila kau bertemu dengan ibuku, wakili aku untuk bersujud di kakinya.”

Hujan saat ini, daun-daun berguguran. Sepi abadi. Membatu. Masihkah ada makna dari sepi? Sedang dedaunan tak ada lagi. kamar sunyi. Tak ada suara. Hening, kemudian gelap.

* * *

Penulis bernama Lenny Nurlina Ratna Kancana. Ibu dari Pelangi dan Lembayung ini sangat mencintai langit dan segala pernak-perniknya. Lahir di bandung 40 tahun lalu dan kini mengajar SMPN 1 Terisi di Kab. Indramayu. Cerpen ini ditulisnya 20 tahun lalu, saat kuliah di salah satu universitas yang letaknya di atas bukit bersama seorang sahabatnya yang sangat mencintai senja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *