PULANG

M. Syauqi Munawar

Gambar: Bing Image Creator

PULANG

MASIH teringat kata-katanya meluncur begitu saja, seperti ada sebuah penyesalan, penggugatan dan keputusasaan.

            “Dia adalah ayahku dan aku adalah anaknya, tapi aku tidak merasakan itu dalam hati. Ikatan batin yang kokoh, yang kadang didambakan setiap orang.”

            Aku terdiam sejenak, tanpa kata, tanpa suara. Meresapi dan memaknai setiap kata yang ia ucapkan. Berulang kali pula aku tarik napas perlahan-lahan, entah apa serasa ada beban berat menghimpit di dadaku.

            “Lung, mengapa kau menangis? Kamu ingin cepat pulang? Sabarlah dulu. Bukankah libur hari raya tinggal satu minggu lagi?”

            “Rio, bukan itu yang aku pikirkan. Bukan! Bukan itu, malah aku memikirkan hal yang sebaliknya. Aku enggan menghadapi liburan ini.”

            “Jadi kamu bingung menghadapi liburan ini? Lho, kok begitu?”

            “Ya, mungkin kau berpikir aku ini tidak normal, atau menyangka bahwa aku anak durhaka. Tapi jika kamu mau mendengarkanku, biarlah aku ceritakan semuanya padamu.”

            Rio, sebelumnya aku minta maaf, kalau selama ini aku bersikap tidak sopan padamu. Jujur saja kadang aku menganggap semua laki-laki yang ada di sampingku, harus mampu menjadi figur seorang ayah. Aku mendambakan perhatian dari seorang laki-laki yang bernama ayah. Aku memang ditakdirkan lahir ke dunia ini karena dia, tapi besar seperti ini bukan karenanya. Ayah dan ibuku bercerai. Sejak kecil aku tinggal di rumah saudara, selama hampir dua belas tahun. Dan sejak itu pula aku tidak pernah merasakan, arti kasih sayang dari seorang ayah atau ibu.

            Rio, kini setelah aku kuliah. Orang-orang menganggapku sudah dewasa yang tak perlu kasih sayang yang berlebihan lagi, itulah yang sering membuatku sedih. Bukankah kasih sayang itu tidak mengenal usia? Aku kadang sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa harus seperti ini.

            Sekitar seminggu lagi libur hari raya akan tiba. Di saat itulah orang-orang bersuka cita, berkumpul bersama keluarga, saling bermaaf-maafan atau bersilaturahmi sesama teman dan kerabat lainnya. Aku senang menyaksikan semua itu, tapi aku sakit merasakannya, penuh rasa nyeri dan pedih. Aku tidak bisa seperti mereka.

            Keistimewaan hari raya Lebaran, begitu membuat orang berbunga-bunga. Ada yang bahagia karena selesai melaksanakan puasa satu bulan penuh, atau ada yang bahagia karena bisa mudik setelah kerja di luar kota dan melepas lelah bersama keluarga. Itulah suasana lebaran yang sering aku saksikan tanpa pernah aku rasakan.

            Aku enggan pulang ke rumah ibu, di rumah aku tidak merasakan kehangatan atau kebahagiaan seperti orang lain. Aku sering terasing di rumah sendiri. Ikatan batin antara aku dan ibuku seperti telah hilang, pudar dimakan waktu. Kesedihanlah yang kini tersisa bersama puing-puing penyesalan atas nasibku.

            Semenjak kuliah, aku mulai tinggal lagi bersama ibu. Ternyata kebersamaanku kini masih tetap hambar, kaku, dan penuh keasingan. Aku sering menatap lama-lama ke arah ibu dan adik tiriku. Mereka kadang saling canda dan tawa. Entah apa aku sakit melihatnya, mengapa aku tidak bisa seperti adik tiriku. Mungkin ibu mengira aku sudah dewasa, tidak mengharapkan belaian lagi seperti ke adik tiriku yang masih kecil.

            Kalau hari raya tiba, aku bukanya bahagia. Kesedihanlah yang hinggap di diriku. Kesedihan yang tak pernah usai dan tak ditemukan jalan keluarnya. Kadang aku lebih suka tidak pulang ke rumah. Di rumah tak lebih baik dari pada di kosanku.

            Rio, kepadamu aku belum ceritakan siapa ayahku. Ya, dia adalah ayahku dan aku adalah anaknya. Sekali lagi aku tidak merasakan itu dalam hati. Ikatan batin yang kokoh, yang sering didamba setiap orang. Aku mengenal dia tapi tak lebih kenal dari pada aku mengenal teman. Aku melihat dunia ini hambar, kelam, hitam, berkelok-kelok dan di setiap kelokannya ada tangis dan air mata. Ada duka dan nestapa.

Rio, kalau anak harus berbakti pada orang tua, lantas orang tua seperti apa yang harus aku puja-puja. Apakah orang tua yang suka berjudi, bermabuk-mabukan? Apakah aku harus berbakti pada orang seperti itu?

Kalau anak harus berbakti, bakti seperti apa? Sementara orang tuanya sendiri membiarkan tanggung jawabnya, menjaga dan mendidik anaknya. Ah aku seperti sedang berceramah saja. Terlalu banyak orang yang sudah pintar tapi tak punya hati. Sudah banyak orang yang cerdas tapi tak punya nurani.

             Bertahun-tahun aku berpisah. Perpisahan yang sebenarnya terjadi antara ayah dan ibuku dan akulah yang menjadi korbannya. Ayahku membiarkan aku tumbuh dan dewasa di keluarga orang. Dia tak pernah tahu atau ingin tahu bagaimana sebenarnya perasaanku. Perasaan seorang anak pada keluarganya.

            Kini kalau aku pulang ke rumah, tak jarang aku bertemu dengan ayah, namun pertemuan itu lebih seperti pertemuan antara seseorang yang sama sekali tidak saling kenal. Aku sakit merasakannya, kadang ingin menggugat takdir Tuhan, tapi akhirnya aku menyadari pula semua ini adalah catatan nasib. Satu harapan yang masih melekat pada diriku, jangan suruh aku memanggil dia ayah. Inilah obat luka hatiku, inilah pengakuan tulus dari seorang anak yang seharusnya menjadi tanggung jawab ayah dan ibuku.

            Lung menghentikan ceritanya, ia terdiam kemudian menatapku tajam seolah ingin mengadu.

            “Lung! Aku harap kamu tidak menyesali hidup ini.”

            “Lantas sebelah mana aku tidak mesti menyesal?”

            “Dengarkan dulu Lung, banyak yang perlu kamu syukuri. Mulailah dari sekarang, kamu memaknai hidup ini secara adil dan bijak sana, tidak menghakimi begitu saja.”

            “Jadi kamu melihat semua perasaanku ini tidak wajar dan salah?”

            “Bukan begitu Lung, aku berharap kamu tidak menyesali hidup ini dan tidak pula kamu membenci ayah dan ibumu.”

            “Bukankah mereka bertahun-tahun membiarkanku sendiri.”

            “Betul, tapi apa untungnya kamu membenci mereka. Membenci mereka berarti kamu membenci dirimu sendiri. Menghina dan menjelek-jelekkan mereka berarti kamu menjelek-jelekkan dan menghina dirimu sendiri.”

            Lung terdiam, ia menatapku penuh rasa kaget dan tanda tanya. Kemudian wajahnya ia tundukan.

            “Lung, satu hal lagi yang perlu kamu tahu. Kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Hubungan batin yang lenyap dimakan waktu masih bisa kamu kembalikan. Ayah dan ibumu masih ada, tidak ada jarak tidak ada waktu yang memisahkanmu secara abadi. Mereka masih ada di dunia ini.”

            “Ya Rio, Lebaran ini aku ingin pulang. Pulang menemui mereka. Dia adalah ayahku dan aku adalah anaknya. Aku ingin merasakan itu dalam hati, menumbuhkannya dan menghilangkan semua penyesalan di hati. Ikatan batin yang kokoh, akan kudamba setiap saat. Seperti orang-orang yang ada di sekitarku.

* * *

            Matahari senja mulai meredup, bayang-bayang malam pun mulai menghampiri. Aku tertunduk lesu. Tak terasa air mata pun jatuh satu persatu. Ternyata itulah kali pembicaraan penghabisan dengan Lung.

Dia lebaran ini benar-benar pulang, tapi pulang untuk selama-lamanya. Pulang ke tempat yang jauh entah di mana. Gelap dan terang. Hitam dan putih. Dia memilih pulang ke tempat yang jauh dan menciptakan dinding antara ibu  dan ayahnya. Dia mati bunuh diri.

* * *

M. Syauqi Munawar adalah nama pena dari Mumu Munawar, penulis kelahiran Garut tahun 1982 ini adalah lulusan Universitas Pendidikan Indonesia Program Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis cerpen, esai, dan beberapa artikel dan dimuat di beberapa surat kabar. Buku puisinya tunggalnya berjudul Air Mata di Musim Kering terbit pada tahun 2004 (Kharifa Media). Aktif sebagai salah satu tim redaksi di pisausastra.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *