Karya Sastra: Antara Milik Publik dan Milik Pribadi

Lukisan surealis tentang sastra
Ilustrasi: Gambar surealis tentang sastra – (Sumber: Arie/PISTRA)

PISAU SASTRA (PISTRA)Kolom OPINI, Jumat (31/01/2025) – Artikel berjudul “Karya Sastra: Antara Milik Publik dan Milik Pribadi” ini adalah karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Karya sastra seringkali dianggap sebagai warisan budaya yang tak lekang oleh waktu. Pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer, A.A. Navis, Sitor Situmorang, dan Franz Kafka telah menjadi milik semua orang. Karya-karya mereka tidak hanya dihargai oleh kalangan tertentu, tetapi juga oleh masyarakat luas.

Setiap orang bebas mengapresiasi karya-karya tersebut dengan caranya sendiri, baik melalui pembacaan, analisis, atau bahkan reinterpretasi. Karya mereka seolah-olah telah melampaui batas waktu dan ruang, menjadi bagian dari khazanah sastra dunia yang abadi.

Didin Tulus
Didin Tulus, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Namun, tidak semua pengarang mendapatkan nasib yang sama. Ajip Rosidi, salah satu sastrawan terkemuka Indonesia, seolah-olah masih dianggap sebagai milik sekelompok orang atau komunitas tertentu. Karyanya seakan-akan tidak boleh disentuh oleh pengagum atau pecinta sastra secara individu.

Ada semacam “kepemilikan” yang eksklusif terhadap karya Ajip, seolah-olah hanya kritikus sastra atau komunitas tertentu yang berhak menafsirkan dan mengapresiasinya. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa karya Ajip Rosidi tidak bisa menjadi milik semua orang seperti halnya karya Pramoedya atau Kafka?

Ketika seseorang mencoba untuk menulis tentang Ajip Rosidi atau mengapresiasi karyanya, seringkali mereka dihadapkan pada berbagai hambatan. Ada yang merasa dihalangi, diblokir, atau bahkan disingkirkan dari diskusi tentang karya Ajip. Ini menciptakan kesan bahwa karya Ajip hanya boleh diakses oleh segelintir orang yang dianggap “layak” untuk membicarakannya. Akibatnya, karya Ajip Rosidi justru terancam dilupakan. Jika tidak ada ruang bagi publik untuk mengapresiasi dan membicarakan karyanya, lama-kelamaan karya tersebut akan lenyap, terkubur dalam-dalam, dan hilang dari ingatan kolektif.

Padahal, esensi dari karya sastra adalah kemampuannya untuk hidup dan berkembang melalui apresiasi dari berbagai kalangan. Karya sastra yang besar adalah karya yang mampu menginspirasi, memprovokasi, dan memicu diskusi dari berbagai sudut pandang. Jika karya tersebut hanya dikurung dalam lingkaran eksklusif, maka potensinya untuk mempengaruhi dan menginspirasi akan terbatas. Karya sastra seharusnya menjadi milik publik, di mana setiap orang memiliki hak untuk menikmati, menginterpretasikan, dan membagikan pemahaman mereka tentang karya tersebut.

Lukisan surealis sosok wanita dan keindahan dunia sastra
Ilustrasi: Lukisan surealis sosok wanita dan keindahan dunia sastra – (Sumber: Arie/PISTRA)

Ajip Rosidi adalah seorang sastrawan yang memiliki kontribusi besar terhadap kesusastraan Indonesia. Karyanya layak untuk dihargai dan diapresiasi oleh siapa saja, bukan hanya oleh segelintir orang atau komunitas tertentu. Jika kita ingin menjaga agar karya Ajip tetap hidup dan relevan, maka kita harus membuka ruang bagi lebih banyak orang untuk terlibat dalam apresiasi terhadap karyanya. Dengan demikian, karya Ajip Rosidi tidak akan hilang ditelan zaman, melainkan akan terus hidup dan berkembang melalui interpretasi dan apresiasi dari berbagai generasi.

Pada akhirnya, karya sastra adalah milik semua orang. Setiap orang berhak untuk mengapresiasi, menafsirkan, dan membagikan pemahaman mereka tentang karya tersebut. Jika kita ingin menjaga warisan sastra kita, maka kita harus membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin terlibat dalam apresiasi terhadap karya-karya tersebut. Dengan cara ini, karya sastra tidak hanya akan tetap hidup, tetapi juga akan terus berkembang dan menginspirasi generasi-generasi mendatang. (Didin Tulus).

***

Judul: Karya Sastra: Antara Milik Publik dan Milik Pribadi
Penulis: Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi.
Editor: JHK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *