
PISAU SASTRA (PISTRA) – Kolom RUANG KARYA/PUISI, Jumat (31/01/2025) Cerpen berjudul “Memeluk Ketenangan” ini merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama nama pena “Violet Senja”.
Udara pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, membuat tubuhku agak menggigil. Namun, tempat ini begitu tenang, damai, dan membuat aku merasa betah. Itulah yang kurasakan setelah beberapa hari berada di pedalaman suku Baduy Dalam, Desa Cibeo.
Semilir angin menerpa wajah, menggoyangkan juntaian atap-atap rumah tradisonal yang terbuat dari daun rumbia. Para wanita berparas cantik alami terlihat tengah duduk takzim mengerjakan kerajinan tangan. Sebagian memenun kain dan sebagian lainnya membuat alat-alat rumah tangga. Pakaian mereka begitu sederhana.

Aku menarik napas dalam-dalam seraya menghirup udara segar yang bertebaran gratis di alam yang masih terbilang perawan ini hingga memenuhi rongga dadaku. Sejenak aku terjebak di sini, meninggalkan hingar bingar kehidupan metropolis yang membuatku terjerat dalam lingkaran setan narkoba, tentu bukanlah hal mudah. Terlebih kehidupan di sini sangat jauh dari apa yang kubayangkan.
Malam itu, tiba-tiba pandangan mataku kabur. Semua berubah menjadi gelap gulita. Bumi seakan berputar lebih cepat, seirama dengan detak jantungku yang bergemuruh. Seluruh sendi, pori, dan ujung kuku terasa nyeri sekali.
Aku tertunduk sembari memeluk lututku dengan tubuh mengigil. Seketika tubuhku lemas, seperti tak memiliki tulang. Aku tak bisa bergerak.
Entah berapa lama aku berada dalam kondisi seperti itu. Tiba-tiba saat mataku terbuka, tubuhku sudah terbaring di atas tempat tidur dan terdengar suara keras pertengkaran kedua orang tuaku. Ya, mereka sedang bertengkar lagi. Mereka saling berbantah-bantahan dan saling menyalahkan, lalu diakhiri dengan suara bantingan keras sebuah benda ke lantai. Kemudian suasana mendadak sunyi senyap. Hanya ada isak tangis seorang wanita dengan nada pilu.
Dengan sisa tenaga yang ada, kulangkahkan kaki keluar kamar. Mama, berjalan pelan seraya menarik sebuah koper besar.
“Ma….mamaaaa,” sapaku lirih.
Mata sembab mama terlihat jelas sekali ketika wanita yang pernah melahirkanku itu melihat ke arahku. Terlihat jelas guratan dan garis-garis di wajahnya, meski tersamar dengan make up yang selalu ia kenakan, lantas memelukku dengan erat.
“Maafkan mama Nak. Papamu benar, apa pun yang terjadi denganmu, semua kesalahan mama yang tidak bisa menjadi ibu yang baik untukmu,” ujarnya sambil menangis keras dalam pelukanku.
“Kamu sudah dewasa, sudah bisa menjalani hidup sendiri. Setelah kepergian mama, mama harap kamu menjadi pribadi yang lebih baik,” lanjut Mama seraya menyelapkan lembaran uang ke dalam saku baju yang kukenakan.
Aku tahu Mama selalu melakukan hal itu ketika aku sedang sakau agar aku bisa membeli barang laknat tersebut. Bukan ia mendukung apa yang kulakukan, hanya saja ia tak pernah tahu dan tidak mencari tahu bagaimana menghadapi keadaanku yang mereka anggap sebagai aib dalam keluarga.
Di sisi lain, aku sangat mengerti posisi Mama. Aku lebih memilih pergaulan di mana aku dapat diterima dengan baik dan dianggap ada, meski ini satu kesalahan dan aku terlambat untuk menyadarinya.
Papa, alih-alih memulihkan kondisi toxic keadaan keluarga, justru malah ia memilih untuk menikah lagi dengan wanita lain. Menjadikan masalah seperti benang kusut yang tidak diketahui di mana ujungnya, yang pasti saat ini aku benar-benar merasa sendiri.
***
Di antara pekat malam yang sunyi, deru mesin taksi online yang kupesan bergerak melaju meninggalkan kota. Inilah kegunaan mobil ini diciptakan, yaitu untuk mengantarkan perjalananku menuju satu desa terpencil nun jauh di pelosok. Dari belakang kaca jendela kulihat jarak yang semakin menjauh meninggalkan rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bersama orang-orang yang kucintai.
Jajaran gedung sepanjang perjalanan hingga memasuki area perkampungan menjelang pagi, menjadi pemandangan beku penuh rahasia. Pandanganku menjangkau tepian hutan, sisi kiri dan kanan jalan.
Pucuk-pucuk pohon meliuk bagaikan tarian saat diterpa angin yang tak begitu kencang. Namun, mampu menciptakan sebuah suara yang men-desau nyaring, seperti siulan.
Aku membuka jendela kaca mobil sambil mencoba memejamkan mata, merasakan hembusan angin lembut yang membawa aroma dedaunan wangi dan segar.

Di sini aku memulai hidup baru tanpa internet, gadget, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi kebiasaanku. Setidaknya itulah harapanku, mungkin juga harapan kedua orang tuaku. Ya, mungkin! Aku tak ingin lagi memikirkan mereka. Kini aku berada di tempat ini, tempat yang kuketahui setelah tugas kuliah beberapa bulan lalu.
Beruntung kepala suku yang biasa kami panggil Ketua Pu’un dapat menerimaku untuk tinggal di sini, setelah kuutarakan maksud dan tujuanku dengan syarat aku mengikuti segala adat dan kebiasaan warga desa di sini.
Suara angklung terdengar samar dari balik bukit. Dengan berjalan tanpa alas kaki, kutelusuri jalan setapak menikmati pagi. Peluh mulai meleleh, rasa lelah mendera setelah kurang lebih dua jam berjalan membelah jalan berbukit.
Matahari mulai meninggi. Kulihat waktu di pergelangan tangan, menunjukkan pukul sembilan pagi. Kubuka topi hitam yang sejak tadi kugunakan dan mengikat rambut sebahuku agar terlihat lebih rapi. Berdiri di bukit menatap nyalang, menyaksikan kegiatan masyarakat suku Baduy Dalam dari jarak yang tidak terlalu jauh.
Dari sebuah bukit yang gundul itu, tampak belasan orang suku Baduy Dalam, tengah berkumpul dan bersila memainkan angklung. Nada yang dimainkan terdengar mendayu.
Tiba-tiba mereka menghentikan permainan, menoleh ke arah tempat aku berdiri, lalu berhambur menuruni bukit. Sorot mata dan raut wajahnya terlihat liar dan menusuk. Mereka nampak tidak suka kedatangan orang asing di saat tengah menggelar upacara ‘tanam padi huma’.
Aku mundur beberapa langkah ke belakang. Detak jantung dalam dadaku mulai tak beraturan di saat bersamaan Kepala Pu’un mengangkat sebelah tangan memberikan isyarat agar mereka menghentikan langkahnya mendekatiku. Dengan bahasa yang sedikit kumengeri, Kepala Pu’un memberitahukan siapa aku danmaksud kedatanganku ke desa ini, hanya untuk sekedar tirtirah.
Selepas kepergian para warga menuju kampung tempat tinggalnya setelah acara tersebut, hanya kepulan asap sisa pembakaran pelapah kelapa muda yang masih membumbung membentuk liukan kecil sebelum di telan kabut tipis. Lalu aku kembali menyusuri pagi, menghirup dalam udara tanpa polusi.
***
“Apa warna kesukaanmu?” tanyaku pada gadis manis berlesung pipi di hadapanku, saat kami kembali jumpa di salah satu sudut kebun kecil di Desa Cibeo.
“Hitam,” jawabnya singkat.
“Apa yang membuatmu suka dengan warna hitam? Padahal kamu seorang perempuan,” ucapku ringan.
“Bukankah kamu juga menyukai warna hitam? Padahal kamu juga seorang perempuan?” tanya gadis itu balik.
“Apa aku pernah mengatakan hal itu? Apakah kamu paramal?” Tanyaku heran.
“Ya, aku paramal dan kamu pernah mengatakan jika kamu menyukai hidupmu yang hitam, beberapa waktu lalu di hadapan paramal ini,” ucap gadis itu seraya terkekeh dan menunjukkan dirinya sendiri.
Aku teringat pertama kali bertemu dengan gadis itu, saat baru tiba di desa ini dan kami berbincang soal perjalanan hidupku yang hitam kelam.
“Aku tidak pernah melihat warna. Yang kutahu hanya hitam dan gelap, begitu pun dengan perajalanan hidupku. Aku baru saja mengetahui jika aku adalah anak angkat dari Ketua Pu’un. Itu artinya aku sebatang kara. Hingga detik ini aku tidak pernah tahu siapa Ayah dan Ibuku dan dari mana aku berasal,” ucap gadis itu, tanpa melihatku, matanya fokus di satu titik.
“Sama sepertiku,” gumamku pelan.
Kesibukan kedua orang tuaku membuat kehidupanku terasa sunyi, apalagi ditambah pernikahan kedua Ayah sehingga membuat keadaan hidupku semakin rumit. Pertengakarn demi pertengkaran mewarnai pertemuan mereka saat di rumah.
“Namira, apakah kamu mau bercerita, hal apa yang membuatmu merasa hidup dalam lingkar hitam?” Tanya gadis itu seraya meraba-raba mencari lenganku.
Aku terdiam, haruskah aku menceritakan semua tentangku?
“Apakah kamu keberatan atau merasa percuma, berbagi cerita dengan gadis buta sepertiku?” Tanya gadis tuna netra itu kembali.
Aku tersenyum, seorang gadis buta yang begitu peka perasaannya. Sejauh ini tidak pernah ada yang menanyakan perihal kehidupan yang kulalui, termasuk kedua orang tuaku sendiri.
Bersama Euis, aku seperti melihat rembulan yang sama. Memiliki halaman yang rusak dan sunyi. Berbicara dengannya, aku merasa sedang membersihkan lumut-lumut masa silam. Kami saling memasuki liang-liang hati dengan segudang tanya tanpa jawaban perihal rasa dan perasaan yang kami lalui sebagai seorang anak. Tuhan mempertemukan kami atas dasar kesamaan dan kesunyian menjalani hari.
“Keberatan? Tentu tidak. Kita sahabat sudah selayaknya saling berbagi dalam segala hal,” ucapku membalas genggaman tangannya.
Aku mulai menceritakan kondisi keluargaku, hingga kehidupanku yang sangat berantakan karena barang haram tersebut. Cita-citaku hancur. Aku seperti tidak memiliki bayangan masa depan. Semua terasa gelap dan hitam.
“Tidak, ini bukan kehidupan yang hitam dan suram. Ini hanya konflik ego satu sama lain. Semua ini urusan mereka, bukan kehidupan yang suram. Jika kamu ingin mengubah hidup, ubahlah demi dirimu sendiri, bukan demi mereka. Kamu masih bisa memberi warna dalam hidupmu. Jika boleh aku memberi saran, pulanglah, temui mereka,” ujar gadis yang biasa di panggil Euis itu panjang lebar.
Aku tertegun mendengar ucapan gadis buta itu. Aku menatap manik bening bola matanya, di sana kulihat kekuatan dan keteguhan hati tanpa raut duka, meski hidupnya tak sebenderang gadis-gadis lain. Namun, hatiku masih bertentangan dengan ucapannya. Jauh di lubuk hati, aku masih belum mau menemui mereka. Orang tua yang membuatku berjalan tanpa arah dalam mencari jati diri.
“Kamu tahu kenapa kamu merasa hidupmu penuh dengan kegelapan? Karena kamu menutup rapat dari keluarga dan sahabat, padahal ada banyak yang memiliki potensi membantumu. Masih banyak teman-teman positif yang dapat kamu kunjungi. Kamu sendiri yang menutup pintu hati hingga menganggap duniamu kelam dan gelap,” lanjut Euis.
Hening menjeruji, aku kalut dengan pemikiranku sendiri, hingga sore menjelang. Kubantu Euis mencari tongkat sebagai alat bantu untuk ia berjalan. Sebelum kami berpisah, tangan mungil Euis menyentuh bahuku. Seperti ada energi positif yang ia salurkan.
Udara dingin menusuk tulang, aku berbaring di ruangan yang cukup besar. Hanya beralaskan tikar pandan di atas rumah panggung anyaman bambu, khas rumah suku Baduy Dalam. Kondisi itu membuat tubuhku semakin mengigil. Belum lagi tidak adanya penerang ruangan seperti listik karena memang tidak diperbolehkan. Hanya sinar remang dari damar yang menempel pada dinding. Sayo terdengar suara binatang malam yang terus bernyanyi seakan tidak mengenal batas hidup dan kematian.
Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun, setelah kembali dari sungai untuk membersihkan diri. Seluruh tubuhku terasa harum bunga kecomrang karena jenis pohon itulah yang digunakan sebagai pengganti sabun mandi dan juga pembilas rambut. Tidak terlalu buruk menurutku, aroma segarnya membuatku seperti terelaksasi.
Gelas terbuat dari bambu panjang berisikan teh hangat bercampur madu hasil panen warga desa ini, selalu mengawali pagiku di sini. Aku pun mengutarakan keinginanku untuk pulang ke rumah kepada Ketua Pu’un, tempat di mana aku menginap selama beberapa hari ini. Dengan ramah Ketua Pu’un mengizinkan aku untuk kembali pulang dengan bahasa Sunda yang terbilang kasar, aku sedikit mengerti bahasa mereka.
“Aku senang bertemu denganmu, Namira. Datanglah kembali ke sini kapan pun kamu mau,” ujar Ketua Pu’un.
Kupeluk erat tubuh mungil Euis. Air mataku menentes seiiring salam dan kalimat terakhir yang ia ucapkan.
***
Setelah beberapa jam menggunakan KRL, aku menuju Jakarta. Dengan menggunakan ojek online akhirnya aku tiba di depan rumah. Suasana rumah nampak lengang seperti tidak ada tanda-anda kehidupan.
Aku membuka handle pintu setelah membuka dengan kunci yang selalu kubawa. Pemandangan yang cukup mengejutkan. Kondisi rumah sangat berantakan. Barang-barang berhamburan. Pecahan-pecahan kaca berserakan di lantai.
“Mereka pasti habis ribut lagi,” gumamku pelan. Mama pasti telah kembali kerumah ini entah untuk hal apa. Selembar kertas dari pengadilan agama tergeletak di atas meja.
Aku berkaca pada sepotong serpihan kaca yang tergeletak di lantai. Bayangan wajah lelahku tergambar nyata. Kupejamkan mata. Senyum Euis membayang di pelupuk mataku. Ingin rasanya aku buta seperti gadis itu agar tak kulihat semua kekacauan ini. Ia benar, aku harus mengubah hidupku.
Pikiranku kembali kedimensi waktu saat ini. Akan kupeluk ketenangan dengan caraku. Akan kuraih bahagia dengan mejauh dari kehidupan agar aku dapat istirahat. Aku sangat lelah.
Perlahan aku terlelap. Seulas senyum terukir di sudut bibirku, seiring darah yang mengalir dari lenganku, menghapus kelamnya hidup untuk selamanya.
***
Judul: Memeluk Ketenangan
Pengarang: Violet Senja
Editor: JHK
Sekilas tentang pengarang
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah atau biasa menggunakan nama samaran Violet Senja ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platform. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, danaktivis sosial di bidang psikotropika ini juga merupakan seorang ibu rumah tangga, ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.