Violet Senja
Sumber: Bing Image Creator AI/PS
Pagi mulai beranjak, namun siang belum menampakkan kekuasaannya. Hanya sinar lembut yang mampu mengubah permukaan air danau menjadi kilau keperakan.
Angin mempermainkan anak rambut seorang wanita yang sedang duduk terpaku di bawah rindangnya pohon randu.
Sesekali tangan menyapu wajah di tengah helaan nafas dan kembali menyimpan dagu di atas lutut yang terlipat, sebagai penopang siluet wajah dalam kegundahan.
Pandangan terlempar ke tengah danau, mencoba mencari ketenangan di sana. Ada bayangan yang menjelma. Sosoknya hadir bagai setetes embun di siang hari.
“Hai….” Sapa sosok yang selama ini menjelma dalam khayal.
Wanita itu tersenyum sangat manis, menoleh ke asal suara di sisinya.
“Kemana saja?” tanyanya singkat.
“Aku tidak kemana-mana, sama halnya seperti dirimu,” jawabnya lembut.
“Aku merindukanmu,” kini suara lembut seorang wanita berubah menjadi parau. Ada cekat di kerongkongannya.
“Kita masih di posisi yang sama seperti awal kita saling mengenal, hanya saja ada sekat pembatas yang sangat tinggi dan itu tidak bisa kita lalui,” ucapnya dengan tatapan pilu.
“Aku tahu…. Apakah kau sedang berusaha merobek bagian lembar ceritaku dalam hidupmu?” Tidak ada jawaban, sunyi.
“Mungkin ada benci dan dendam, atas segala tindakan yang tidak aku lakukan, andai kamu tahu…. Semua keindahan itu masih terjaga dalam ingatan, meski aku hanya merpati senja yang mengepakkan sayap pada satu kerinduan,” ucap sang wanita seraya memainkan ujung jemarinya.
Remah kasih yang masih ia eja, berusaha mengumpulkan letak koma di antara larik syair, yang masih mengimpit ragu di antara penggalan bait hitam. Wanita itu masih termenung, berusaha memaknai doa mana yang akan ia letakkan.
“Maaf jika aku terkesan jahat. Tapi keadaan yang memaksa semua ini,” ucap laki-laki yang mengguarkan aroma maskulin dalam setiap tarikan nafasnya.
Gerimis menetes dari sudut ceruk netra indah sang wanita. Mentari pagi tak mampu mengikis mendung yang sejak lama berarak.
“Aku hanya butuh senyum paling damai, sepatah kata paling cinta, sebuah kecup paling sejuk, atau sebuah peluk untuk dadaku yang remuk.”
Keadaan kembali sunyi, sosok itu pergi entah kemana. “Apakah dia benar-benar telah pergi?” Gumamnya, seraya mengusap air bening yang masih tertinggal di kedua pipi.
“Apakah itu kamu? Menjelma dalam memoriku yang kelelahan? Mengemas satu pinta. Belum sempat aku menanyakan, apakah Aminmu masih searah dengan semogaku?” Hatinya terus bergumam.
Sosok yang seharusnya tidak boleh ada. Sebuah nama yang tidak bisa ia sebutkan di hadapan semua orang. Namun masih tersimpan rapi di sudut hati paling dalam. Melafalkan namanya hanya dalam bait doa di penghujung malam.
Haruskah mulutnya memaki atas takdirnya sendiri? Sementara yang ia cari hanyalah ruang untuk sekedar melapangkan ingatan, melepaskan kecemasan atau mungkin sekedar mengikhlaskan satu persatu tawa yang hilang ditelan keadaan.
Bunga dandelion kering menuntunnya untuk bangkit dari simpuh di atas permadani hijau pinggir danau. Jemari lentik memetik dan meniupnya. Satu persatu kelopak dandelion kering berhamburan, terbang terbawa angin yang bertiup, seraya hati membisikkan kata, “Semua masih berupa samar dalam cerita, untuk menulis titik pun aku masih harus mengeja. Aku hanya ingin mengatakan padamu, apapun yang Tuhan tetapkan kedepannya, engkau tetap pangeranku. Pangeran yang menghias mimpi-mimpiku. Menuntun jemariku untuk terus mengabadikan cerita kita dalam goresan tinta.”
Tatapan nanar tertuju dimana tempat beberapa saat lalu bayangan itu menjelma, tarikan nafas berat terdengar menyayat.
“Jika benar hati adalah tempat transit suka dan luka, maka sayap-sayap semoga biar kujadikan kepak yang terbang menuju bahagia saja. Tanpa hadirmu aku telah terbiasa mencabut duri di telapak kakiku sendiri, di atas segala tanya. Perihal aku yang tersia-sia.” Batinnya. Seiring langkah meninggalkan semua dan membiarkan diri terus berjibaku dalam simpul yang terikat mati. ***
Tentang Pengarang:
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkap Neneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platform. Ia biasa menggunakan nama “Violet Senja” sebagai nama pena dalam setiap karya fiksinya.
Karya antalogi yang telah diterbitkan dalam buku MERAMU BUIRAN KISAH penerbit Sastra Media Cibiru, dan karya genre Fantasy dalam buku JEJAK-JEJAK MASA LALU bersama teman-teman yang tergabung dalam komunitas Nulis Aja Dulu.
Ibu dari satu orang putri dan satu orang putra ini juga merupakan seorang tenaga pendidik non formal, kreator digital, aktivis sosial di bidang psikotropika, dan wirausahawati di bidang kuliner. Kembali menekuni hobi lama dalam dunia kepenulisan dan mulai mendalaminya sejak tahun terakhir.
Ia berkeinginan untuk terus menulis sampai usia senja, seperti motto hidupnya “Hidup hanya sekali dan jangan biarkan menua tanpa arti”.
Unuk berinteraksi dengan penulis, pembaca bisa menghubungi alamat email: nenengsalbiah51@gmail.com atau melalui pesan WhatsApp di 089516942847 (Fast Respond)