Dimas Saputera
Gambar: Bing Image Creator
Hujan hanya gerimis hari ini. Menyisakan bau tanah yang menusuk hidung. Hari telah malam. Bulan enggan untuk memperlihatkan kepucatannya, sedang dari jauh lamat-lamat suara guruh menggema memenuhi dan menjalari ruang kosong di udara. Kututup jendela rapat-rapat lalu duduk di atas kursi depan meja bertaplak motif bunga-bunga melati peninggalan mendiang ibuku yang ia rajut sendiri dari benang wol bertahun-tahun yang lalu. Ia paling suka bunga melati. Aku pun demikian, kamarku tak lepas dari harum melati, harum yang selalu menggetarkan syaraf penciumanku seakan membuatku melayang di udara. Harum yang katarsis. Amplop di atas meja yang diantarkan tukang pos tadi malas kubaca. Di belakangnya tertera sebuah nama yang telah samar kuingat. Sepenggal dari masa lalu.
“Aku pergi. Jangan cari kemanapun aku pergi, hanya akan sia-sia bagimu. Maafkan aku.”
“Tapi kenapa? Kalau kau datang pada kehidupanku hanya untuk pergi, kenapa kau biarkan juga aku mengenalmu begitu dalam.”
“Takdir yang menyebabkan kita harus berpisah, sekarang biarkan aku pergi. Aku tak akan pernah kembali.”
“Mei, tak adakah yang dapat kuperbuat untuk mencegah kepergianmu?”
“Selamat tinggal.”
Percakapan yang singkat itu yang mampu kuingat di malam Mei pergi, sehabis gerimis bertahun-tahun lalu. Aku hanya terdiam di muka pintu dengan wajah dungu mengantar kepergiannya yang misterius.
Waktu datang dan pergi tanpa permisi. Tak ada lagi kegembiraan di rumah ini. Tak ada lagi harum gulai ayam untuk makan malam yang ia buat entah dengan resep apa, karena kelezatannya mungkin mengalahkan rasa makanan dari restoran ternama. Tak ada lagi bisik halus ucapan selamat tidur darinya. Kini bahkan sprei tempat tidur itu hampir tak pernah kisut. Aku lebih banyak tidur di atas sofa panjang di kamar kerja, dan meletakkan buku-buku yang kubaca menjelang tidur di atas meja.
* * *
Masuk ke sebuah pub karaoke menjadi hiburan baru bagiku semenjak Mei pergi. Cukup di ballroom saja aku ikut menyanyi lagu-lagu yang aku bisa dengan suara sumbang. Ruangan khusus hanya akan membuatku teringat pada Mei. Cukup di tempat terbuka dan berbaur dengan orang-orang yang mungkin sepertiku juga. Kesepian. Biasanya aku duduk dulu di bar dan memesan segelas soda, lalu menyulut sebatang rokok.
“Malam Kang[1] Han.”
Pemandu lagu yang telah mengenal diriku menyapa dengan senyumnya yang ranum.
“Malam Len, kamu tampak cantik malam ini.”
“Ah akang bisa aja, lagipula di tempat temaram seperti ini apa kecantikan seseorang bisa terlihat sempurna?”
“Justru di tempat temaram seperti inilah kecantikan seseorang benar-benar akan terlihat sempurna.”
“Oke deh kang, mau nyanyi lagu biasa? Selamat Malam-nya Evie Tamala.”
“Hari ini, akang hanya ingin mendengar suaramu saja tanpa kesumbangan suara akang. Bagaimana kalau Lena nyanyikan lagu My Way Frank Sinatra?”
Lena naik ke atas panggung menghampiri diskjockey, membisikkan sesuatu lalu mulai menyanyi.
“Untuk Handoko di ujung meja sana.”
* * *
Malam sudah semakin larut. Jalanan lengang. Kami mampir dulu di tukang mie goreng pinggir jalan langganan kami, rutinitas yang biasa dilakukan sebelum sampai ke rumah kostanku sekedar untuk mengisi perut sebagai pengganjal sampai pagi menjelang. Satu jam biasanya kami berada di sana. Seperempat jam menunggu mie nya matang, setengah jam untuk makan, dan sisanya untuk memberi waktu bagi mie nya turun sampai perut, tentunya sambil menunggu kang Han beres merokok.
Sebelum duduk di sepasang kursi yang angkuh membisu dalam kamar kostanku kang Han selalu mencium keningku dengan lembut. Hanya itu, dan memintaku membuatkan secangkir teh kental manis dengan tiga sendok gula. Lalu kami hanya akan duduk sambil menunggu pagi.
“Kang, sajakmu aku tempelkan di atas cermin.”
“Kenapa kau tempelkan sajak yang itu Len?”
“Aku suka kang, begitu dalam.”
Ketika Kau Pergi
sunyi menderu melewati darah dan aortaku
ketika kau pergi dari balik pintu
tanpa sekerjap senyuman
apa yang harus kumaknai kini
bahasa mawar telah luruh ke tanah
dan aku tak bisa berbuat apa-apa
sunyi menderu mengerami ruang kosong taman jiwaku
ketika kau pergi menghilang dari balik pintu
tanpa kata yang kau sematkan di dadaku
apa yang harus kumaknai kini
bahkan mimpi hanya membawaku pada ketiadaan
jika kau tak ada
sunyi menderu melewati jalan pikirku
merenggut nyawaku satu persatu
“Begitu, sunyi kang, raheut pisan kana manah.”[2]
“Kau tak perlu ikut sakit hati Len, kepergiannya memang telah menjadikanku seperti ini.”
“Apa kau begitu mencintai Mei kang?”
“Kau sudah tahu dari dulu, semenjak pertama kali kita bertemu.”
Aku beranjak dari kursiku, menghampiri kang Han, duduk di bawah dan merengkuh tangannya lalu kuusap-usapkan ke pipiku.
“Tadi pagi dia menyuratiku.”
“Mei? Dimana dia sekarang?”
“Surat itu bahkan belum kubaca.”
“Naha teu acan diaos.” [3]
“Aku tak mampu. Aku memang masih mencintainya sampai saat ini. Tapi aku tak mampu bahkan untuk memimpikannya. Surat itu hanya akan membuatku benar-benar terluka. Apakah kau sanggup melihatku terluka lagi? Terluka kembali oleh ribuan luka, menambah deretan lukaku yang telah benar-benar mendarah daging selama ini.
“Tapi mungkin saja surat itu mengabarkan kalau dia akan kembali.”
“Mei takkan kembali. Dan dia tak ingin dicari.”
“Kau terlalu egois kang. Kau terlalu menenggelamkan diri dalam kesedihan hingga menutup pintu akal sehatmu!”
“Bagaimanapun juga Mei takkan kembali! Dan kau tahu itu.”
“Tapi aku tahu ucapanmu itu sesungguhnya tidak nyata kang, hatimu berontak, hatimu masih tetap ingin dan mengharapkan Mei kembali.”
“Sudahlah Len, hanya aku yang tahu seberapa dalam kesedihan yang merimba dalam hatiku. Hanya aku. Tak juga kau. Tak juga orang lain. Tuhan pun!”
“Kang!”
“Sudah pagi Len, aku harus pulang, selamat pagi.”
Kang Han mengecup kembali keningku lalu pergi ke arah pintu.
* * *
Kurebahkan tubuhku di atas kursi dan menutup buku yang barusan kubaca. Surat yang datang kemarin pagi masih utuh dalam sampulnya. Meilana Permata Putri, nama panjang Mei tertera di balik amplop itu. Tanpa alamat. Ingin sebetulnya kubaca surat itu, tapi hatiku mengatakan tidak. Semenjak Mei pergi telah kuikrarkan untuk melupakannya. Foto-fotonya telah kuturunkan dari dinding.
Apakah ini puncak dari kesunyian itu? Aku tak tahu pasti. Di sisi lain aku benar-benar merindukan sekadar seyumnya. Tapi di sisi lain aku selalu tak mampu bahkan untuk sekedar mengingatnya. Bukankah Majnun? Dan kini Mei telah hadir kembali di kamar ini dalam sepucuk surat. Tak kubaca. Tak ada kemampuan untuk itu.
Novel yang barusan kubaca kubiarkan terjatuh ke lantai. Mataku mengabut oleh air mata. Lalu mengalirlah masa lalu itu satu demi satu membuat fragmen-fragmen yang memilukan. Kerusuhan 6 tahun yang lalu membawa kepada pertemuanku dengannya. Di antara kobaran api dari gedung-gedung yang terlalap dengan begitu dahsyatnya, di antara teriakan-teriakan orang yang mencekam langit, perempuan berambut panjang itu menubruk tubuhku sebelum tersungkur, perempuan dengan tubuh bersimbah darah dan pakaian yang terkoyak-koyak.
Kuambil pisau untuk memotong buah apel. Aku menangis. Mengucapkan selamat tinggal pada kesunyian. Darah mengalir dari urat nadiku. Sekarang benar-benar sunyi.
* * *
“Kamu tahu kang, surat dari Mei telah kubaca. Maafkan kelancanganku. Aku melakukannya karena aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali kita bertemu. Semoga bunga melati yang kutaburkan ini kau mengerti artinya. Abdi nyaah pisan ka akang.”[4]
Surat itu aku taruh di atas nisan Handoko.
* * *
Kepada kekasihku Handoko,
Maafkan aku, karena pergi meninggalkanmu bahkan tanpa satu pun penjelasan yang keluar dari lisanku. Aku mencintaimu sungguh, dan aku sangat berterima kasih karena kau mencintaiku lebih dari yang dapat aku berikan padamu. Kau telah banyak berkorban untukku. Kau mungkin akan membenciku karena aku pergi meninggalkanmu. Tapi aku sudah siap menerima kebencianmu, karena memang pantas.
Kenapa aku pergi meninggalkanmu, karena aku tak sanggup menerima keadaan diriku sendiri semenjak perkosaan itu. Aku dan banyak lagi perempuan-perempuan lain yang menjadi korban tersuruk menjadi seonggok manusia tanpa harga, sebagian lagi mungkin menjadi gila. Tapi aku lebih beruntung sebab dipertemukan dengan engkau yang tanpa pamrih membantuku keluar dari kesedihan itu, dan menikahiku, menikahi wanita yang kotor ini.
Aku selalu mencoba melupakan peristiwa itu, apalagi dengan adanya dirimu, tapi aku tak pernah sanggup, mimpi-mimpi itu selalu menyiksaku, mimpi yang berisi jeritan-jeritan ngilu perempuan yang ditelanjangi, diperkosa. Lalu kuputuskan untuk pergi meninggalkanmu, ke tempat yang tak mungkin kau cari. Kucoba melupakan semua masa laluku, tragedi itu, tapi aku tak pernah sanggup. Bertahun-tahun kujalani dengan semua siksa batin dan trauma. Aku tak sanggup lagi hidup. Aku akan membunuh diriku sendiri. Maafkan aku. Doaku untukmu atas kesehatanmu. Terima kasih untuk semuanya. Selamat tinggal.
Meilana Permata Putri
* * *
Dimas Saputera
Pernah menjadi mahasiswa sastra dua dekade yang lalu. Sekarang bekerja pada sebuah penerbitan buku di Bandung.