
PISAU SASTRA (PISTRA) – Kolom OPINI, Kamis (06/02/2025) – Esai berjudul “Mencintai Ajip Rosidi, Tanpa Harus Dikenal” ini adalah karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Saya tidak tahu. Saya menyangka Ajip Rosidi sudah tiada. Entah kenapa, bayangan itu selalu muncul di kepala saya. Mungkin karena namanya begitu legendaris, begitu besar sehingga saya mengira beliau sudah menjadi bagian dari sejarah yang usai. Tapi ternyata, saya salah.
Tahun 2008, kabar mengejutkan datang: Ajip Rosidi akan kembali ke tanah air setelah 22 tahun menetap di Jepang sebagai pengajar. Kabar itu sampai ke telinga saya lewat sebuah acara penyambutan di kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), Jalan Dipatiukur, Kota Bandung.

Sontak, hati saya berdegup kencang. Ajip Rosidi, sang sastrawan besar, akan hadir di depan mata. Saya ingin bertemu, ingin melihat sosoknya langsung. Namun, sejenak saya menahan diri. Siapalah saya? Hanya seorang pembaca biasa, seorang pengagum yang tak pernah dikenal olehnya.
Acara itu akhirnya saya saksikan dari jauh. Saya berdiri di pinggir, mengamati kerumunan tamu undangan yang hadir. Tak satu pun wajah yang saya kenal. Saya merasa seperti orang asing di tengah pesta yang seharusnya meriah. Namun, saya tak peduli. Yang penting, saya bisa menyaksikan momen bersejarah itu, meski hanya dari kejauhan.
Ajip Rosidi dengan tenang dan penuh wibawa, berbicara di depan hadirin. Suaranya mengalun, penuh makna, seperti karya-karyanya yang selalu memukau. Saya terpana, sekaligus haru. Inilah sosok yang selama ini saya kagumi lewat tulisan-tulisannya.
***
Sejak saat itu, tekad saya bulat. Mau dikenal atau tidak, saya tidak peduli. Saya akan terus mencari, membaca, dan mengoleksi karya-karya Ajip Rosidi. Saya mulai menjelajahi toko-toko buku di Bandung, kota tempat saya tinggal.
Dari toko besar di pusat kota hingga lapak-lapak kecil di pelosok, saya datangi semuanya. Bertahun-tahun, tanpa lelah, saya mencari buku-buku karya Ajip. Sampai akhirnya, kawan-kawan saya memberi julukan “Ajipis”. Julukan itu muncul karena obsesi saya terhadap karya-karya Ajip. Mirip dengan kawan saya di Yogyakarta yang dijuluki “Pramis” karena kecintaannya pada karya Pramoedya Ananta Toer.
***
Tak hanya di Bandung, saya juga menjelajahi kota-kota lain, seperti Yogyakarta, Surakarta, dan Solo. Bahkan, sampai ke Bali. Setiap kali ada kesempatan, saya menyambangi toko buku di kota-kota itu. Hasilnya, sedikit demi sedikit, koleksi saya mulai bertambah.

Beberapa buku karya Ajip yang sudah lama terbit berhasil saya dapatkan. Rasanya seperti menemukan harta karun. Dari mana uangnya? Dari honor jaga stand buku. Saya menyisihkan sebagian penghasilan saya untuk membeli buku-buku Ajip. Tak ada yang lain, hanya buku-buku Ajip yang saya incar.
Tentu saja, cibiran datang. Banyak orang yang tak mengerti obsesi saya. “Ngapain sih ngumpulin buku-buku Ajip? Nggak ada yang baca lagi tuh,” begitu kata mereka, tapi saya tak peduli. Bagi saya, Ajip Rosidi bukan sekadar penulis. Beliau adalah guru, pemikir, dan inspirator. Melalui tulisannya, saya belajar tentang kehidupan, tentang manusia, tentang Indonesia.

Lambat laun, kawan-kawan di dunia perbukuan mulai mengenal saya. Mereka tahu betapa besar kecintaan saya pada karya-karya Ajip. Tak jarang, jika ada buku karya Ajip yang mereka temukan, saya selalu menjadi orang pertama yang mereka tawari. Rasanya seperti mendapat kepercayaan dari sebuah komunitas yang sama-sama mencintai buku.
***
Sampai hari ini, obsesi saya pada Ajip Rosidi tak pernah pudar. Meski saya tak pernah benar-benar bertemu atau dikenali oleh beliau, saya merasa sudah dekat dengannya melalui karya-karyanya. Ajip Rosidi, bagi saya adalah sosok yang hidup melalui tulisannya. Saya dengan segala keterbatasan merasa bangga bisa menjadi bagian dari mereka yang mencintai dan menghargai karya-karyanya.
Mencintai Ajip Rosidi, tanpa harus dikenal adalah pilihan saya dan saya tak akan pernah menyesalinya. (Didin Tulus).
***
Judul: Mencintai Ajip Rosidi, Tanpa Harus Dikenal
Penulis: Didin Kamayana Tulus, Penggiat Buku tinggal di Kota Cimahi.
Editor: Jumari Haryadi