PISAU SASTRA (PisTra), Kolom RUANG KARYA/CERPEN, Rabu (04/06/2025) – Cerpen berjudul “Ketika Perempuan Pulang”merupakan karya original dari Neneng Salbiah yang sering menggunakan nama pena “Violet Senja”. Cerpen lainnya bisa Anda lihat di sini: “Menanti Ibu Pulang”, “Paragraf yang Tak Terbaca”, dan “Memeluk Ketenangan”.
Matahari mulai meninggi. Namun, udara dingin musim kemarau masih terasa menusuk tulang. Gendis, remaja berkulit langsat, berambut ikal sebahu bagaikan mahkota pemikat yang membuatnya menjadi gadis cantik nan sempurna di mata semua orang. Pagi itu ia berjalan pelan menuju rumah dengan kedua tangan memeluk tubuhnya sesekali jemari mengusap lengan bagian atas untuk menghalau udara dingin pagi itu.

Tatapan mata sebagian warga yang kebetulan berpapasan dengan Gendis, seolah penuh tanya. sorot mata mereka yang tidak biasa menatap gadis yang terus berjalan tanpa menundukkan kepala, seakan tidak terjadi apa-apa.
Nursam, baru saja keluar rumah dengan menenteng dua buah ember di tangan. Ia hendak mengambil air bersih dari mobil tangki yang datang pagi ini ke desanya. Pada musim kemarau, Desa Labuan Tereng memang selalu kesulitan air. Warga selalu mengantri air bersih dari mobil tangki yang disediakan pemerintah desa.
Melihat kepulangan sang Adik, Nursam segera menghentikan langkahnya. Kedua tangannya gemetar mencengkram kuat gagang ember hingga terlihat urat-urat yang menonjol di punggung telapak tangannya yang legam.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Gendis!” Ucap Nursam pelan, tapi dengan nada penuh penekanan.
Tanpa menjawab pertanyaan Nursam, Gendis berjalan melewati laki-laki bertubuh kekar yang ada di hadapannya.
Bersamaan dengan itu, seorang wanita paruh baya tergopoh keluar rumah.
“Ada apa Nursam?” Tanya wanita yang bernama Mirah itu seraya kedua tangan membetulkan jowong berupa penutup kepala dengan kain tipis.
“Lihat apa yang dilakukan anakmu Pun!” Jari Nursam menunjuk ke arah Gendis yang masih berdiri di ambang pintu rumah.
Seperti seorang terdakwa di hadapan wanita paruh baya yang dipanggil ‘Pun’ tersebut. Sontak membuat kepala Gendis tertunduk dalam.
“Maafkan Tiang, Pun,” ucap Gendis lirih sambil berlalu menuju kamarnya.
Umpatan-umpatan yang keluar dari mulut Nursam terdengar hingga ke kamar Gendis. Hatinya benar-benar hancur, takdir seolah tidak berpihak kepadanya.
Seminggu yang lalu atas persetujuan Nursam yang bertindak sebagai walinya, menggantikan Amak yang sudah tiada. Menyetujui seorang laki-laki bersama dengan ketua adat yang datang ke rumahnya untuk merariq ─ Sebuah tradisi, calon mempelai laki-laki harus melarikan calon mempelai wanita sebelum melakukan ritual pernikahan ─ Gendis. Atas nama tradisi dan menjaga nama baik keluarga dengan terpaksa Gendis menuruti semua prosesi menjelang pernikahannya dengan laki-laki yang belum ia kenal.
“Abangmu sudah sangat mengenal Sehar. Dia laki-laki yang baik.” Tiang memberi keyakinan kepada putri semata wayangnya yang kini genap berusia 20 tahun.
Hingga prosesi kawin culik pun terjadi. Pada malam itu atas kesepakatan kedua pasangan calon pengantin, prosesi merariq dilaksanakan. Faktor ekonomi menjadi bahan pertimbangan keluarga Gendis.
Nursam sang kakak mengenal Sehar, sebagai kepala mandor di proyek pembangunan pemerintah ─ Tempat di mana Nursam bekerja sebagai kuli bangunan. Secara finansial, Sehar tergolong mapan untuk menjadi suami sang adik.
Secepat angin berhembus di musim kemarau, angin yang tidak membawa kesejukan. Hawa panas berbaur dengan omongan para tetangga tentang kepulangan Gendis yang terjadi sebelum prosesi ijab kabul. Gunjingan warga terdengar memekakan telinga di setiap sudut desa.
“Jadi anak perempuan itu harus rajin, kalau tidak rajin nanti akan dipulangkan sebelum ijab kabul, seperti si Gendis!” Seru seorang ibu kepada anak gadisnya.
Suara ibu itu begitu keras meski mereka sedang berada di dalam rumah. Nursam yang kebetulan lewat mendengar teriakan tersebut.
Setiba di rumah, Nursam langsung memanggil Ibunya, “Apa Tiang sudah bicara dengan Gendis?”
“Belum, biarlah di tenang dulu,” ucap Ibu Nursam pelan.
“Gendis, sudah membuat keluarga kita malu dan jadi cemoohan semua orang, Tiang,” ujar Nursam kesal.
“Jangan terlalu menekannya. Di luar sana sudah banyak tekanan-tekanan yang mengguncang mentalnya. Jangan lagi kita sebagai keluarga turut menekannya juga,” lanjut Mirah.
Kemudian Ibu Nursam berlalu ke dapur seraya menenteng seikat pakis yang baru saja ia petik di kebun dekat rumah.
***
“Gendis,” sapa Mirah, setelah membuka pintu kamar.
Gendis, menoleh dan tersenyum tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.
“Kita ke pelabuhan Gili. Antar Pun mencari ikan. Sepertinya hari ini banyak nelayan yang tiba di sana,” ujar Mirah.
Pelabuhan Gili Mas memiliki penangkapan ikan tradisional yang menjadi salah satu sumber penghasilan sebagian warga Labuan Tereng.
Gadis tersebut beranjak dari tempatnya duduk. Kusen jendela kamar yang cukup luas membuatnya nyaman duduk berlama-lama menghabiskan waktu seraya meratapi nasibnya saat ini sambil sesekali memandang taman kecil di samping rumahnya, atau menikmati bulan dan bintang yang sedang bercumbu dengan malam nan kelam.
Dengan berjalan kaki, wanita beda usia tersebut melangkah beriringan menuju Pelabuhan Gili Mas. Ia berjalan menyusuri jalan bukit-bukit vulkanik yang mengelilingi lembah dataran terbuka, melewati bukit-bukit yang ditutupi semak bambu, semak duri, dan belukar, serta pohon-pohon palem yang berjejer rapi sepanjang perjalanan.
“Bisa-bisanya seorang gadis kembali ke rumah setelah dilarikan laki-laki,” sindir seorang wanita yang berpapasan dengan mereka.
“Iya, laki-laki mana yang mau dengan perempuan yang belum tentu masih perawan,” timpal wanita yang lainnya.
“Tidak usah kalian mengurusi urusan putriku! Urus saja urusan kalian sendiri!” Seru Mirah, menghardik kedua wanita yang berusaha menyindir Gendis.
“Puuun, sudahlah.”
Gendis menarik lengan ibunya dan mengajak kembali berjalan.
Angin pelabuhan menerpa dan memainkan rambut panjang Gendis. Kain batik sebatas lutut yang ia kenakan di padu kebaya berwarna gading, sesekali tersibak angin mamiri. Air laut yang terlihat jernih dan terkadang perak karena phospor
“Ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi.”
Tangan lembut Mirah meraih kedua lengan putrinya setelah mereka tiba di pinggir pelabuhan.
Kepala yang sejak tadi terangkat, seolah ingin mempertahankan harga diri di tengah kejamnya hukum tradisi, kini tertunduk dalam hingga sebagian rambutnya jatuh menutupi wajah. Tubuhnya membeku seperti es, tak ada kata yang terucap.
Pandangan Gendis jatuh ke tanah, tapi ia tahu jika mata sang ibu sedang menatap tajam ke arahnya. Ia memahami bahwa perempuan tua di hadapannya memiliki unsur sentimental dan emosi yang terbuka seperti perempuan-perempuan lombok lainnya.
“Katakan, jangan takut. Aku ini Ibumu, satu-satunya orang yang tidak akan menghakimi apapun kesalahanmu,” tutur Mirah seraya mengangkat dagu gadis cantik di hadapannya.
“Pun… Tiang tidak tahu harus bersikap bagaimana, apa salah kalau pulang ke rumah orang tua Tiang sendiri?”
Air mata mulai membasahi kedua pipi gadis tersebut.
“Sehar tidak membawa Tiang ke rumahnya, melainkan disembunyikan di rumah kerabatnya. Sehar tidak berlaku baik terhadap Tiang. Dia orang yang kasar. Tiang diperlakukan selayaknya babu. Tidak hanya itu, Sehar sudah memilki seorang anak dan saat ini sedang proses perceraian dengan istrinya,” ujar Gendis pilu.
Tangis Gendis pecah. Tangan kanannya menyingkap lengan kebaya, memperlihatkan tanda memar di lengan kiri bagian atas.
Mirah langsung memeluk putri kesayangannya. Gendis menceritakan apa yang dia alami selama kawin lari bersama Sehar dan menjelaskan jika kepulangannya atas permintaannya sendiri, bukan dipulangkan oleh keluarga Sehar.
“Pun? Tiang mau tanya, berapa mahar yang diminta Bang Rustam kepada Sehar?”
Mirah menggelengkan kepala. Ia sendiri tidak diberitahu oleh Rustam, berapa mahar yang diminta putranya tersebut. Mungkinkah Sehar merasa keberatan atas mahar yang diminta Rustam hingga ia berlaku seperti itu terhadap Gendis? Sikap Rustam sendiri begitu marah ketika melihat Gendis pulang tanpa bertanya apa permasalahannya.
Mirah kembali melangkah ke arah batu karang diikuti Gendis yang masih mengusap pipi basahnya sesekali. Ribuan tanya di kepala masing-masing atas semua yang terjadi.
Dari kejauhan terlihat para wanita berkebaya dengan kain sebatas lutut. Mereka adalah istri para nelayan yang sudah menunggu kedatangan para pejuang nafkah yang sudah berlayar selama beberapa pekan menaklukan lautan. Tangkas para perempuan itu melemparkan keranjang rami ke atas kapal, lalu para nelayan memenuhi keranjang dengan ikan hasil tangkapan mereka.
Sambil berjalan menyusuri pantai di pesisir pelabuhan, Mirah menceritakan tentang seorang putri cantik dari Kerajaan Sekar Kuning. Putri raja ternama dari Lombok. Kecantikan sang putri mampu menghipnotis semua laki-laki dari berbagai kalangan sehingga hal itu membuat semua pemuda berkeinginan mempersunting Putri Mandalika.
Satu pagi, setelah Putri Mandalika melakukan semedi, ia mengumpulkan semua pangeran dan pemuda yang ingin melamarnya di Pantai Segar. Raja Sekar Kuning menyerahkan semua keputusan di tangan sang Putri. Akhirnya Putri Mandalika menerima semua lamaran. Sontak membuat yang hadir terkejut. Di tengah keterkejutan itu, tiba-tiba Putri Mandalika menjatuhkan diri ke dalam lautan.
Semua panik. Rakyat dan pasukan dikerahkan untuk mencari Putri Mandalika ke dalam lautan. Miris, jasad sang Putri tidak dapat ditemukan. Mereka hanya menemukan binatang kecil serupa cacing aneka warna yang disebut dengan Nyale.
Mirah, menangkap beberapa Nyale yang di percaya oleh masyarakat Suku Sasak sebagai jelmaan Putri Mandalika, lalu memperlihatkan kepada Gendis. Gadis itu tidak bergeming. Ia hanya sekilas menatap binatang kecil yang ada di kedua telapak tangan Mirah. Ia lanjut berjalan hingga berada di tebing batu cadas besar.
Maut adalah simbol sebuah perjalanan setelah usai menyelesaikan masalah-masalah yang rumit di dunia. Lantas menuju sebuah kehidupan yang sunyi dan kedamaian yang sempurna. Lalu pada detik ini, siapakah yang akan mengadakan perjalanan ke tempat tersembunyi itu? Siapa setelah Putri Mandalika? Aku? Atau yang lainnya? Bisik Gendis dalam hati. Ia tersenyum sinis menatap lautan lepas yang terhampar di hadapannya.
Lalu, apakah pulau ini merupakan simbol dunia dengan segala permasalahannya? Atau hanya penggambaran tentang tradisi, adat istiadat yang telah merebut haknya sebagai perempuan yang memiliki banyak hak atas hidupnya sendiri? Gendis terus berkata dalam hatinya yang gamang.
Kepala gadis itu menggeleng pelan. Ia merasakan semua hitungan hidup dan segala permasalahan bergetar atas dasar tangan Seniman Besar pemilik surgawi yang selalu tepat dalam perhitungan waktu.
Dermaga telah sunyi. Kesibukan para neyalan telah berhenti berganti pelepasan rindu di rumah masing-masing.
Warna langit semakin menua dan bayangan petang merapat di lautan. Kemana pun Gendis memandang, hanya ombak kecil yang berlarian ke arah pantai, seperti renda putih yang membentang di atas hamparan kain hitam. Ya, senja selalu datang sesaat, bergantikan dengan malam yang gelap dan tenang.
“Guste, kehormatanku tidak lagi tersisa karena tradisi,” ujar Gendis mendesah perlahan, lalu Mirah menyentuh bahunya, “Semua orang harus tau alasan kamu pulang,” bisiknya pelan.
“Tidak Pun. Biarlah mereka terus menghina, mencaci, dan mencemooh kan Tiang hingga tidak ada lagi yang tersisa dari kehormatan Tiang di mata mereka,” tegas Gendis seraya memandang manik tua di hadapannya.
“Jika kelak ada laki-laki yang kembali merariq Tiang, mungkin Tiang akan bersikap seperti Putri Mandalika,” ucapnya seraya tersenyum getir. (Violet Senja).
***
Judul: Cerpen “Ketika Perempuan Pulang”
Pengarang: Neneng Salbiah
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang pengarang
Wanita kelahiran Bogor, 02 Juni 1978 bernama lengkapNeneng Salbiah ini aktif menulis artikel dan novel di berbagai platform. Tenaga pendidik non formal, kreator digital, dan aktivis sosial di bidang psikotropika ini juga merupakan seorang ibu rumah tangga, ibu dari satu orang putri dan satu orang putra.